Rehabilitasi Jalan Jatim 2014 Rp 84 Juta/Km

Pemprov Jatim rupanya tidak memprioritaskan pertumbuhan kegiatan ekonomi daerah di tahun 2014. Ini berdasarkan semakin menurunnya anggaran pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan provinsi Jatim yang diajukan eksekutif dalam RAPBD 2014.

Tenaga ahli Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Timur, Madekhan Ali menyebutkan, eksekutif dalam RAPBD 2014, hanya mengajukan alokasi belanja langsung Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Pemerintah Provinsi Jawa Timur total sebesar Rp 409 milyar. Jumlah ini lebih kecil dibanding tahun 2013 yang mencapai Rp 480,5 milyar.

Dari jumlah itu, yang murni digunakan untuk pemeliharaan jalan jembatan provinsi hanya sebesar Rp 119,5 milyar. Sementara untuk program pembangunan jalan dan jembatan provinsi serta proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) hanya sebesar Rp 241,7 milyar.

Angka ini dianggap Madekhan Ali sangat bertolak belakang dengan upaya Pemprov Jatim yang tengah gencar menjaring investor asing agar mau berinvestasi di Jatim.

“Lebih rendah Rp 71 milyar. Ini artinya, Pemprov Jatim untuk tahun depan tidak memprioritaskan pertumbuhan kegiatan perekonomian karena pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan tidak ditunjang anggaran memadai,” kata Madekhan Ali, Rabu (4/12) di Surabaya.

Panjang jalan provinsi menurut situs Bina Marga Jatim adalah 1.760,91 kilometer. dari jumlah tersebut, sepanjang 338 kilometer dikatakan dalam kondisi baik, sedangkan 1.420 kilometer dalam kondisi rusak mulai ringan hingga berat.

Dengan jumlah anggaran Rp 409 milyar, menurut Madekhan, berarti Dinas PU Bina Marga hanya menganggarkan untuk pemeliharaan jalan per kilometer sebesar Rp 84,2 juta. Padahal sesuai standar pemeliharaan berkala Kementerian PU, per kilometer jalan membutuhkan biaya pemeliharaan antara Rp 200 juta-Rp 333 juta.

“Bisa dibayangkan. Tahun lalu Provinsi Jatim masih mengalokasikan anggaran standar biaya pemeliharaan jalan Rp 147,4 juta per kilometer, dan ini masih jauh dari angka ideal rata-rata standar biaya pemeliharaan jalan Kementerian PU sebesar Rp 260 juta. Apalagi tahun 2014,” tukas Madekhan Ali.

Idealnya, menurut Madekhan Ali, mengacu pada panjang jalan Jatim dan standar biaya rata-rata pemeliharaan jalan, maka Pemprov Jatim harus mengalokasikan anggaran minimal sebesar Rp 850 milyar untuk belanja langsung pemeliharaan jalan termasuk infrastruktur transportasi.

Kecilnya anggaran untuk rahbilitasi dan pembangunan jalan jembatan itu juga dicermati Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Maryunani. Menurutnya, Pemprov Jatim seharusnya mulai menerapkan penghitungan pajak kendaraan berdasarkan mode input dan output.

“Yang tidak pernah dihitung selama ini oleh pemerintah adalah, jika kita membangung jalan per kilometer persegi, berapa sebenarnya manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh pemerintah,” kata Maryunani.

Ia mencontohkan di negara-negara seperti Cina, Jepang dan Korea, sudah memiliki akses jalan khusus untuk transportasi barang, pribadi dan publik. Pemerintah negara tersebut menerapkan pajak berbeda berdasarkan jenis barang yang diangkut.

“Bukan hanya panjang jalan saja yang dihitung, tapi harus ada pemisahan. Jalan-jalan khusus untuk transportasi barang, pribadi, rumah tangga. Ada pemisahan khusus jalan untuk perpindahan barang-barang hasil olahan,” kata Maryunani.

Menurut Ketua Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang itu, yang seharusnya diterapkan Pemprov Jatim adalah, apapun kegiatannya infratsruktur jalan menjadi sangat penting dan kualitasnya harus ditingkatkan.

“Jika Jawa Timur ingin meningkat dan investor asing tertarik untuk masuk, maka tidak bisa ditawar-tawar lagi, kualitas jalan harus ditingkatkan,” tukas Maryunani.

Ironisnya, kucuran melimpah justru terlihat di alokasi dana hibah yang mencapai kisaran Rp 4 triliun untuk 2014. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Saleh Ismail Mukadar juga menyoroti hal ini.

Dana hibah triliunan rupiah tersebut menurut Saleh selanjutnya akan dikelola oleh satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai dana bantuan sosial. Padahal, dana bantuan sosial itu sendiri menurut Saleh, ukurannya tidak jelas.

“Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri ngomong soal itu. Tidak ada hasil yang jelas,” kata politisi dari PDI Perjuangan ini.

Seharusnya lanjut Saleh, kalangan eksekutif lebih berpikir bahwa belanja daerah itu untuk menggerakkan ekonomi. Caranya, dengan membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur yang memadai.

Saleh menyarankan, Pemprov Jatim harusnya mengalihkan Rp 3 triliun dari Rp 4 triliun dana hibah itu untuk penuntasan pembangunan jalan lingkar selatan (JLS). Dengan tuntasnya JLS itu, sebanyak 15 juta warga di kawasan selatan Provinsi Jatim akan terangkat perekonomiannya.

“Bukannya saya tidak setuju dengan dana hibah. Tapi alangkah lebih baik jika dana hibah itu benar-benar dialokasikan untuk warga miskin,” ujarnya.

Fitra sendiri menurut Madekhan akan terus mengawasi alokasi belanja langsung untuk infrastruktur Provinsi Jatim ini. Pasalnya, membengkaknya dana hibah di tahun politik 2014 ini diperkirakan rawan kebocoran.

“Belanja hibah atau bantuan langsung itu akan riskan dikorupsi. Itu mengandung kecurigaan akan dipakai bancakan di tahun politik 2014,” kata Madekhan. (Wahyoe Boediwardhana)