MALANG, Wiwik Siti Hardiyati (70) masih ingat ketika dirinya tak berhenti meneteskan air mata saat melihat anak tunanetra bimbingannya masuk sebuah acara televisi.
Saat itu bulan September 2012, di mana Hendra Jatmika dan istrinya Nenden menjadi bintang tamu sebuah acara talkshow stasiun televisi swasta karena keahliannya bermusik dan menciptakan program komputer musik bagi penyandang tunanetra.
“Saya bergumam, Hendra sepatumu bagus sekali. Air mata saya terus menetes selama acara,” kenang Wiwik ketika ditemui surya.co.id di kediamannya di Perumahan Villa Bukit Sengkaling beberapa waktu lalu.
Wiwik adalah pemerhati pendidikan bagi anak jalanan dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Hendra dan Nenden merupakan satu di antara banyak contoh anak binaannya yang sukses menjalani hidup.
Lebih dari 30 tahun Wiwik menjadi pemerhati pendidikan di Bandung. Namun, perjalanan hidup membawa Wiwik sampai ke Kota Malang. “Tahun 2005 saya datang ke Malang bersama suami (alm Joewono) saya. Saya coba teruskan kegiatan yang pernah saya lakukan di Bandung setelah menetap di Malang,” sambungnya.
Di Malang, Wiwik pun tidak tinggal diam membina anak jalanan dan ABK. Meski usianya sudah 70 tahun lebih, hal itu tak menyurutkan semangatnya membagikan ilmu psikologi perkembangan yang didapat di Universitas Indonesia tahun 50-an kepada warga Malang.
“Saya dirikan Sanggar Cendikia, sebuah lembaga pendidikan nonformal yang metode pengajarannya berupa home schooling bagi anak jalanan, pinggiran, dan ABK,” tutur Wiwik
Di Sanggar Cendikia, Wiwik menerapkan metode khusus untuk pengajaran anak jalanan dan anak pinggiran, yaitu gambar dan bercocok tanam.
Wiwik menjelaskan ketika menggambar pancaran emosi si anak dapat terlihat. Sedang bercocok tanam adalah media agar anak dapat melepaskan emosi-emosi negatifnya.
“Ketika mencangkul, saya katakan kepada anak-anak, cangkul lah dengan amarah kepada sesuatu yang dibencinya. Setelah emosi terkuras dan tubuh lelah, baru saya lakukan pendekatan emosional ke anak-anak jalanan dan pinggiran yang memang tidak tahu bagaimana menyalurkan emosinya secara benar,” urainya.
Pun ketika menangani ABK, Wiwik mewajibkan diri untuk berkunjung ke rumah anak yang bersangkutan. Dari kunjungannya itu, Wiwik akan menemukan metode tepat untuk menanganinya.
“Karena metode utama saya home schooling, jadi wajib mengunjungi rumah anak yang saya bina agar tahu secara menyeluruh tentang si anak,” katanya.
Bagi Wiwik, definisi ABK bukan saja anak-anak yang mengalami kelainan fisik dan mental disorder. Anak-anak yang kecanduan game, suka mencontek, atau sering bolos sekolah juga dimasukan Wiwik sebagai golongan anak ABK.
“Secara fisik dan mental, anak-anak seperti itu sebenarnya normal. Tapi untuk menanganinya dibutuhkan cara-cara khusus. Makanya, mereka saya sebut juga sebagai ABK,” urainya.
Kegiatan Wiwik tidak berhenti di pengajaran saja. Wiwik juga termasuk konselor parenting, anggota komunitas lansia Kecamatan Dau, dan satu di antara pendiri sekolah “Mak-Mak Canggih” (MMC).
Delapan tahun di Malang, Wiwik memendam keinginan untuk mendirikan SMK di Kecamatan Dau. Menurut Wiwik pengajaran keterampilan adalah pengajaran yang cocok untuk anak jalanan, pinggiran, bahkan ABK.
“Cukup diajari keterampilan bisa jadi bekal hidup mereka. Kalau masuk SMK, anak-anak tidak harus kuliah yang biayanya makin mahal. Tapi di Dau cuma ada satu SMK, itupun swasta,” keluhnya.
Meski begitu, ibu lima anak dan 10 cucu ini tetap meneruskan langkahnya memberikan pendidikan gratis bagi anak jalanan, pinggiran, dan ABK, di Malang, khususnya Kecamatan Dau.
“Menjadi guru adalah jalan hidup saya. Selama masih diberi nafas dan kekuatan, saya akaan tetap mengajar,” tutupnya. (sumber: surya.co.id)