JAKARTA, Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pekan ini memanggil sejumlah jurnalis untuk menelisik siapa pembocor surat perintah penyidikan (Sprindik) untuk mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dari pemberitaan di media, Komite Etik KPK dikabarkan memanggil jurnalis dari tvOne, Tempo, dan Media Indonesia.
Ketua AJI Jakarta Umar Idris mengatakan secara prinsip mendukung upaya yang sedang dilakukan oleh Komite Etik KPK untuk mengusut pembocor sprindik. Namun meminta keterangan kepada para jurnalis merupakan langkah yang tidak tepat.
“Para jurnalis memiliki hak tolak yang harus dijaga untuk melindungi narasumber serta kredibilitas profesi dan medianya,” tegas Umar dalam rilisnya, Jumat (8/3/2013).
Sebagai warga negara yang taat hukum, jurnalis perlu memenuhi panggilan lembaga penegak hukum untuk diperiksa atau menjadi saksi di pengadilan. Tapi jurnalis berhak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan. Ini diatur dalam pasal 4 ayat 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi : Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Dasar hukum hak tolak jurnalis ini juga ada dalam Pasal 50 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan bahwa, mereka yang menjalankan perintah Undang Undang, tidak dapat dihukum. Perlindungan juga diberikan dalam Pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi, Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
“Jurnalis dapat menghadiri panggilan Komite Etik KPK, namun Komite perlu menghormati bahwa jurnalis memiliki hak tolak untuk mengungkap identitas narasumber. Penghormatan pada hak tolak jurnalis ini merupakan salah satu bentuk komitmen atas kebebasan pers di Indonesia,” pungkas Umar.