AJI Surabaya mendukung aksi solidaritas jurnalis Surabaya dalam kasus pemukulan jurnalis Pangkal Pinang, yang digelar di seberang Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (23/09/08). Senada dengan sikap AJI Indonesia, AJI Surabaya mengecam kekerasan kepada jurnalis dengan alasan apapun.
Demonstrasi solidaritas yang berlangsung di Surabaya dilakukan oleh puluhan jurnalis dari berbagai media massa yang ada di Surabaya. Dalam demonstrasi yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit dan disertai dengan melepasan ID Card jurnalis itu, demonstran menuntut pelaku penyerangan yang membuat korban babak pelur dan kamera video hilang itu untuk diadili.
Berikut ini kronologi lengkap kasus penyerangan itu, yang ditulis Dandhy Dwi Laksono (AJI):
Salah seorang kontributor RCTI di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Hengky Muhari,
Sabtu malam (20/9) dikeroyok belasan anggota TNI AL saat sedang meliput aksi
penganiayaan di sebuah SPBU.
Berdasarkan keterangan korban, saat itu Hengky mendengar terjadi kasus
penganiayaan di SPBU dan dia meluncur ke lokasi untuk meliput. Sesampainya di
TKP, ternyata penganiayaan masih terjadi dan yang bersangkutan sempat merekam
kejadian saat belasan tentara menganiaya pegawai SPBU dan seorang satpamnya.
Mereka marah karena salah seorang temannya yang hendak mengisi bensin, diminta
pindah ke tempat pengisian yang lain (masih di lokasi yang sama), karena alatnya
sedang rusak.
Melihat ada wartawan yang mereka aksi brutal mereka, belasan tentara AL itu lalu
beralih mengeroyok Hengky dan merampas kamera beserta isinya. Korban mengaku
dipukuli dan diinjak-injak. Saat ini korban sedang dirawat di RSUD
Tanjungpinang.
Sebelumnya korban mengadukan perkara ini ke polisi tapi oleh polisi diarahkan ke
Polisi Militer AL (Pomal). Di Pomal, korban diarahkan ke Rumah Sakit Angkatan
Laut, namun mereka menyatakan tidak perlu divisum. Karena kebijakan ini janggal,
korban lalu pindah rumah sakit guna mendapatkan visum.
Hingga email ini diposting, siang ini, Pomal rencananya akan menggelar jumpa
pers dan mengklaim sudah menahan 2 pelaku. Tapi camera dan kaset masih
misterius, karena tidak satu pihak pun yang mengaku telah merampasnya.
Ini kejadian kedua dalam sepekan kasus kekerasan dan perampasan. Sebelumnya, di
Timika, koresponden RCTI M Yamin juga mengalami kasus serupa. Kamera dan
kasetnya dirampas, lalu isi rekaman dihapus secara sepihak oleh Brimob Polda
Papua.
Kaset tersebut berisi gambar barang bukti mortir dalam ledakan di areal
penambangan Freeport yang diangkut tim Gegana ke Mako Brimob. Di dalam kaset
yang sama, juga ada rekaman lokasi jalur-jalur ilegal masuk ke areal tambang
Freeport. Jalur ilegal ini digunakan oleh para penambang ilegal untuk mengais
emas di areal penambangan.
Keberadaan para penambang ilegal ini diketahui oleh oknum-oknum aparat keamanan,
bahkan di-bekingi dengan logistik dll, karena diterapkan sistem bagi hasil.
Belum ada pelaku yang dihukum terkait hal tersebut. Kapolda Papua secara pribadi
telah meminta maaf kepada M Yamin, namun tidak ada tindakan hukum kepada para
pelaku.
Menurut UU Pers nomor 40/1999, kedua aksi tersebut bisa dikenai delik pidana.
Pasal 4 menyebut:
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Pasal 18
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).