Terpuruk 22 Tahun, Perajin Gamelan Bangkit Lagi

PONOROGO – Perajin gamelan asal Kelurahan Paju, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo mulai bergeliat lagi. Ini menyusul adanya pesanan sebanyak 100 unit dari DIY Yogyakarta yang rencananya bakal dibagikan untuk sejumlah sekolah di Kota Keraton itu.

Kondisi ini, memicu semangat para perajin gamelan di sentra Industri Kaleng dan Drum yang selama bertahun-tahun dikenal memproduksi kompor minyak tanah, ambruk karena adaya kebijakan penggunaan kompor gas 3 tahun silam.

Surya.co.id melaporkan salah seorang perajin gamelan yang sudah berusaha mempertahankan usaha warisan leluhur sejak Tahun 1971 yang mendapatkan pesanan gamelan itu adalah Mbah Goiman (65) warga RT 02, RW 01, Kelurahan Paju, Kecamatan Ponorogo.

Dibantu kelima anaknya, pria paruh bayah lebih ini berusaha menyelesaikan seluruh pesanan gamelan yang terbuat dari kuningan yang dipatok seharga Rp 125 juta per unit itu di bengkel miliknya yang selama ini sudah terpuruk hampir selama 22 tahun terakhir.

Mbah Goiman menceritakan jika usaha yang dirintisnya sejak Tahun 1971 itu kembang kempis. Selain pesanan terus menurun, juga disebabkan gamelan yang dipesanan perorangan atau kelompok seniman biasanya bertahan selama puluhan tahun. Jika ada yang rusak, hal itu hanya membutuhkan perbaikan saja. Oleh karenanya, meski sempat jaya sejak 1971 hingga 1990, akan tetapi sejak 1990 hingga 2012 kemarin sempat kembang kempis karena minimnya permintaan gamelan dalam setiap bulan.

“Karena minimnya peminat hampir selama 22 tahun usaha keluarga besar kami terpuruk. Beruntung sejak awal Tahun 2013 ini mulai bergeliat lagi setelah mendapatkan pesanan dari DIY Yogyakarta sebanyak 100 unit,” terangnya kepada Surya, Kamis (10/1/2013).

Padahal, sebanyak lima orang anak Mbah Goiman selama ini hanya mengandalkan pekerjaan memproduksi gamelan itu mulai dari Sutrisno, Sunarto, Suprapto, Susilo, dan Supriyanto. Berkembang tidaknya usaha Goiman ini bergantung pada keuletan kelima anaknya itu.

“Bisa di bilang tahun ini, kejayaan perajin gamelan bangkit lagi,” ucapnya.

Untuk menyelesaikan 1 unit gamelan yang terdiri dari Bonang, Kenong, Kempul, Gong Suwuk, Gong Gedhe, Kethuk Kempyang, Demung, Saron, Gender, Peking, Slenthem, Gambang, Kendang, Rebab, Siter Bolak-Balik, Suling, termasuk berbagai jenis langgam gamelan pelok atau slendro membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Oleh karenanya, pihaknya berusaha memenuhi permintaan pesanan itu tepat waktu dengan menggerakkan seluruh pekerja dan anak-anaknya itu.

“Karena mereka minta kualitas kuningan Rp 125 juta per unit, maka kami utamakan hasil yang memadai. Karena kami sendiri juga menyedikan gamelan seharga Rp 80 juta per unit tetapi campuran kuningan dan besi bahan bakunya. Di bengkel kami yang paling murah gamelan biasa hanya Rp 7 juta per unitnya,” ungkapnya.

Salah seorang anak Goiman, yang sibuk bekerja Sutrisno (49) menegaskan jika tidak hanya bahan baku yang diutamakan untuk membangkitkan kejayaan perajin gamelan. Pihaknya, juga menjaga kualitas rancak suara gamelan. Apalagi, harga gamelan bukan hanya berpaku pada bahan baku, akan tetapi juga dipadukan dengan rancak suaranya. Selain itu, juga dilengkapi berbagai ornamen untuk mempercantik tampilannya.

“Biasanya untuk pesanan seharga Rp 125 juta kami lengkapi dengan ukirannya agar tampak semakin menarik,” urainya.

Sementara, Sutris mengungkapkan tinggi permintaan gamelan itu disebabkan di DIY Yogyakarta ada program pendidikan kesenian karawitan sebagai ekstra kulikulier di sejumlah lembaga sekolah.

“Informasinya pesanan gamelan ini akan dikirim ke sekolah-sekolah di DIY. Kami sendiri belum tahu alasan kami dipilih menyelesaikan pesanan, karena Jogja tergolong sebagai daerah perajin gamelan sejak dulu. Akan tetapi, sejumlah pejabatnya memang seringkali pesanan ke kami karena lebih suka hasil kerajinan tangan kami,” pungkasnya.

Diketahui, Kelurahan Paju, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo terkenal sebagai lokasi home industry daur ulang besi tua bekas drum kemasan aspal dan kaleng. Sejak puluhantahun  warga Kelurahan Paju menekuni kerajinan berbahan drum tersebut untuk membuat Kompor Minyak Tanah, Gamelan, serta peralatan perairan, hingga peralatan dapur dan rumah tangga. Namun sejak ada program peralihan dari minyak tanah ke gas berdampak serius terhadap para perajin kompor minyak tanah. Semenjak adanya program tersebut, puluhan perajin kompor minyak tanah banyak yang gulung tikar dan sebagian lagi beralih produksi. Untuk mereka yang beralih produksi, biasanya mereka yang memiliki permodalan dan skill yang memedai. Diantaranya beralih ke modifikasi motor tua menjadi motor model trail. (sumber: surya.co.id)