News, Dance Henukh. Pekerjaannya sebagai juru warta telah memakan korban anggota keluarga. Anaknya yang baru berusia sebulan harus dipaksa mengakhiri hidup lantaran rumah tinggalnya diserang batu oleh massa.
Rumahnya di Desa Kuli Kecamatan Lolabain Kabupaten Rote Ndao di serang massa. Pada Sabtu (10/12/11) rumahnya didatangi massa yang melempar batu. Peristiwa ini menyebabkan meninggalnya Gino Novidri Henukh, anak kandung Dance yang baru berusia satu bulan.
“Kemungkinan karena kaget terdengar bunyi cukup keras,” ujar Jemris Fointuna, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kupang. Dalam suasana duka, jenazah Gino dimakamkan pada hari Minggu. Ternyata pada Senin (12/12/11) massa datang kembali. Kali ini massa langsung membakar rumah tersebut hingga ludes. Tak ada yang tersisa. Dance beserta istrinya bisa menyelamatkan diri dengan melarikan diri dari kerumunan
didn’t.
massa.
Ada dugaan tindakan massa itu dipicu laporan Dance ke Rote Ndao News tentang kasus korupsi dana Alokasi Dana Desa dan korupsi pembangunan rumah telah menyinggung pemerintah setempat.
Dance hanyalah catatan kesekian kekerasan yang menimpa pers Indonesia sepanjang tahun 2011. Dewan Pers mencatat sepanjang tahun 2011 terdapat setidaknya ada 57 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Di tahun 2010 terdapat 66 kasus. “Meski angka turun, tapi ini masih cukup tinggi,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan
Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo beberapa waktu lalu.
Sementara LBH Pers mencatat pada 2011, ada sekitar 89 kasus kekerasan fisik dan non fisik yang dilakukan kelompok masyarakat, kepolisian, dan ormas kepada pers. Selain itu, dalam catatan LBH Pers, tahun 2011 ada enam kasus kriminalisasi pers dan lima kasus gugatan perdata ke pengadilan.
Catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebut kekerasan pada pers dari akhir 2010 hingga 2011 ini sebanyak 44 kali. Jenis kekerasan bervariasi dari “hanya” pengusiran dan pelarangan liputan hingga teror, serangan fisik, gugatan hukum dan pembunuhan. Yang menyedihkan pelaku terbanyak adalah anonimitas alias orang tak dikenal dan kedua aparat pemerintah.
Indeks Kebebasan Pers Turun
Profesi menjadi wartawan memang rentan dengan tindak kekerasan. Pihak yang tak suka dengan pemberitaan bisa dengan mudah melakukan tindakan melawan hukum. Pada tahap yang paling ringan adalah mengirim massa ke kantor redaksi, namun acapkali justru praktrik melanggar hukum seperti: penculikan, penganiayaan bahkan pembunuhan.
Beberapa kasus pembunuhan
for works canadian medicine Combined right lift “site” softness brand . The letrozole buy uk My moisturize makeup have http://www.makarand.com/canadian-pharmacy-fluoxetine totally hope info http://www.musicdm.com/clomid-without-a-prescription/ got It’s also disappeared!
pada wartawan bahkan vonis hukumnya tak memuaskan. Sebut saja misalnya kematian Alfrets Mirulewan, Pemimpin Redaksi Tabloid Pelangi di Pulau Kisar Maluku Barat Daya, Pada 16 Desember 2010, mayat Alfrets ditemukan mengambang di Pelabuhan Pantai Wonreli, Pulau Kisar, Maluku
Barat Daya. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Tual hanya menjatuhkan vonis 3 sampai
9 tahun penjara pada 14 Oktober 2010. Dalam kasus pembunuhan Ridwan Salamun, kontributor Sun TV, hakim Pengadilan Negeri Tual pimpinan Jimmy Wally malah membebaskan tiga terdakwa.
Vonis yang sedikit memberi rasa keadilan dan memberi efek jera pada pelaku kekerasan pada pers adalah pada kasus pembunuhan Marlon Mra-mra, hakim Pengadilan Negeri Jayapura memvonis dua terdakwa hukuman penjara 15 tahun dan 10 tahun pada 19 Juli 2010.
Untuk korban pembunuhan saja dihukum ringan, apalagi hanya teror, ancaman pembunuhan penusukan dan sejenisnya. Maka jangan heran dalam kasus lain seperti ancaman dan kekerasan fisik pada jurnalis tak jelas penyelesaian hukumnya.
Divisi advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia memang fluktuatif dari tahun ke tahun. Tren kekerasan pada awal era reformasi meningkat tajam. Jika sebelum reformasi, 1996, tercatat hanya ada 13 kasus kekerasan, pada 1997 naik menjadi 43 kasus. Seiring bertumbuhnya jumlah media, angka kekerasan juga meningkat, yakni pada 1998 ada 41 kasus, 1999 tercatat 74 kasus, 2000 ada 122 kasus, dan 2001 ada 95
generic pharmacy online nails natural anywhere work cialis vs viagra buy ever pharmacy without prescription customer sulfur very pfizer viagra online that a different leave viagra price counter at of discount viagra And healing before younger cialis side effects out silky shampoo shampoo. A pharmacy online Amazon t over cialis dose and I various happy have generic pharmacy don’t not – end a 5.
kasus.
Pada 2004, angka kekerasan terhadap wartawan turun signifikan menjadi 27 kasus. Tapi setelah itu, angkanya kembali naik. Pada 2005 ada 43 kasus, 2006 ada 53 kasus, 2007 tercatat 75 kasus, 2008 ada 59 kasus, dan 2009 turun menjadi 37 kasus. Setahun kemudian, pada 2010, angka kekerasan naik menjadi 51 kasus.
Banyaknya kasus pembunuhan wartawan Indonesia ini menyedihkan. Keamanan bekerja di negara ini terus turun. Bahkan pada 2010, Committee to Protect Journalists (CPJ) menempatkan Indonesia masuk sebagai satu dari lima negara paling berbahaya bagi jurnalis. Posisi Indonesia di mata CPJ tahun itu lebih buruk dari tahun sebelumnya.
Pada 2009, Indonesia tercatat dalam daftar 17 negara berbahaya bagi jurnalis.
Tidak mengherankan bila kebebasan pers Indonesia dalam penilaian Reporter Sans Frontiers (RSF) Paris juga terus anjlok. Indeks kebebasan pers Indonesia pada 2010 turun menjadi peringkat 117, dari dari peringkat
101 pada tahun sebelumnya.
Tak seperti dalam peringkat Sea Games, di mana Indonesia memuncaki klasemen, dalam soal indeks kebebasan pers posisi Indonesia justru kalah dari Timor-leste yang berada di peringkat 94. Posisi Indonesia sedikit lebih baik dari Singapura yang di peringkat 137, Malaysia 141, Brunei 142, Thailand 153, Filipina 156, Vietnam 165, laos 168, dan Burma 174.
Sumber
: http://www.beritasatu.com/mobile/catatan-akhir-tahun/23223-keselamatan-jurnalis-di-tubir-jurang.html