Jurnalis dan Media Massa Harus Beri Ruang Lebih Untuk Suara Para ABK Korban Perbudakan di Kapal Ikan

SURABAYA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya mengajak jurnalis dan media massa, khususnya di Surabaya, untuk memberi lebih banyak ruang kepada pemberitaan-pemberitaan terkait anak buah kapal (ABK) di kapal-kapal ikan asing yang menjadi korban eksploitasi, perbudakan, dan perdagangan orang.

Hal ini disampaikan Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer, seusai nonton bareng film Before You Eat di Warung Mbah Cokro, Surabaya, Jumat (15/7/2022) malam.

Before You Eat adalah sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dengan dukungan Greenpeace Indonesia.

Para narasumber yang hadir dalam Diskusi Nobar film Before You Eat di Warung Mbah Cokro, Surabaya.

Film Before You Eat bercerita tentang perbudakan modern yang dialami oleh orang-orang Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan milik asing. Film yang disutradari oleh Kasan Kurdi tersebut menampilkan banyak footage yang direkam sendiri oleh para ABK dengan menggunakan ponsel. Di film tersebut, para ABK juga bercerita bagaimana penderitaan yang mereka alami selama bekerja di kapal-kapal asing.

“Ironisnya, penderitaan yang dialami oleh ABK ini tidak banyak muncul dalam pemberitaan di media massa. Hingga akhirnya, para ABK tersebut bersuara sendiri dengan menggunakan gambar-gambar yang mereka buat selama di kapal,” ujar Eben Haezer.

Dia menambahkan, jurnalis dan media massa di Surabaya, memiliki peran strategis untuk mewujudkan perlindungan bagi para ABK yang jadi korban perbudakan.

“Jurnalis dan media massa di Surabaya lebih mudah menjangkau para pengambil keputusan dan mendorong mereka untuk menciptakan tata kelola atau kebijakan yang berpihak pada para anak buah kapal di kapal-kapal asing,” imbuhnya.

“Media massa juga punya peran untuk mengedukasi publik agar tidak mengonsumsi ikan dari kapal-kapal yang dimiliki oleh perusahaan yang mengeksploitasi para anak buah kapalnya,” pungkasnya.

Kasan Kurdi, Sutradara Before You Eat mengatakan, film tersebut semula direncanakan hanya berdurasi 7 menit. Namun setelah melihat fakta di lapangan, akhirnya diputuskan membuat film yang lebih panjang dengan durasi sekitar 90 menit.

Dia mengatakan, Before You Eat sebenarnya tak hanya mendorong para pembuat kebijakan untuk mewujudkan perlindungan bagi para ABK.

“Tetapi juga mendorong agar publik sadar bahwa dari ikan-ikan yang mereka makan, bisa jadi di sana ada penderitaan yang dialami para ABK. Sehingga publik pun bisa terlibat untuk mendorong pemerintah dan perusahaan-perusahaan kapal penangkap ikan agar menghentikan perbudakan ini,” katanya.

Afdillah, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia menambahkan, film Before You Eat menceritakan hanya sebagian kecil dari ABK yang terjebak dalam perbudakan. Sementara, dia menyebut ada ratusan ribu ABK yang saat ini tersiksa di tengah samudera demi mendapat upah yang tidak manusiawi.

“Kami mendorong agar Kemenhub sebagai pihak yang berwenang melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan pemilik kapal ikan, untuk menunjukkan hasil audit mereka. Karena selama ini, bahkan perusahaan-perusahaan yang punya izin pun ternyata tidak beres juga,” katanya.

Afdillah juga berharap agar media massa memberikan lebih banyak ruang untuk mengungkap perbudakan yang dialami para ABK sehingga publik memiliki kesadaran untuk turut terlibat dalam proses advokasinya.

“Saya percaya media massa masih punya kekuatan untuk mendorong terjadinya perubahan,” kata Afdillah.

Post Comment