Membangkitkan Jurnalisme Advokasi

Di penghujung 2021, tagar PercumaLaporPolisi menjadi trending di media sosial Twitter. Tagar ini jadi populer setelah Project Multatuli–sebuah inisiatif jurnalisme dari sekelompok jurnalis–mengangkat kisah tentang kekerasan seksual terhadap anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Trending-nya tagar PercumaLaporPolisi ini mendorong para pengguna media sosial untuk berbagi kisah tentang pengalaman-pengalaman pahit mereka kala melapor ke polisi. Imbasnya, kemudian muncul sejumlah berita tentang pencopotan jabatan hingga pemecatan sejumlah polisi yang dianggap telah mencoreng institusi Polri.

Kisah ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah karya jurnalistik mampu mendorong lahirnya wacana publik serta gerakan dan perubahan sosial. Berbeda dengan di masa lalu, gerakan dan perubahan sosial yang terjadi saat ini, lazim memanfaatkan arena-arena virtual. Di Twitter misalnya.

Di tengah praktik-praktik jurnalisme kekinian yang berusaha memahami algoritma Google agar dapat masuk dalam halaman pertama hasil pencarian, kehadiran pemberitaan-pemberitaan yang mampu menggerakkan wacana publik seolah menjadi angin segar. Kemunculan konten-konten semacam itu, seakan-akan ingin mengatakan bahwa publik masih membutuhkan pers meski kini suara-suara bisa semakin mudah terdengar lewat media sosial.

Jurnalisme Advokasi

Pemberitaaan-pemberitaan yang mampu menggerakkan publik untuk berwacana dan bertindak, merupakan tujuan dari praktik jurnalisme advokasi (advocacy journalism).

Menurut Careless (2000), jurnalisme advokasi ialah praktik jurnalisme yang secara terbuka berbicara atau memohon, serta memberikan wajah dan suara atas nama orang lain. Pendek kata, jurnalisme advokasi semata-mata ingin memberikan ruang bersuara bagi kelompok-kelompok atau individu-individu yang suaranya kerap diabaikan. Melalui praktik jurnalisme advokasi, suara-suara yang termarjinalkan itu diharapkan dapat lebih terdengar melalui dukungan publik.

Keberpihakan pada yang lemah dalam jurnalisme advokasi terkadang memunculkan pertanyaan apakah pers dapat menjalankan tugasnya secara obyektif? Seharusnya, jurnalisme advokasi bukannya tidak obyektif. Sebab, memang benar bahwa jurnalis memiliki keberpihakan pada mereka yang lemah, ditindas, dan terpinggirkan. Tetapi, keberpihakannya itu bukan untuk menjatuhkan pihak yang lebih berkuasa, melainkan untuk menyadarkan mereka agar kembali ke ‘jalan yang benar’.

Dalam jurnalisme advokasi, jurnalis melangkah lebih jauh, tidak hanya sekadar menjalankan tugas to inform (untuk menginformasikan), tetapi juga membuat sebuah berita yang mendorong pembaca untuk bertindak melakukan sesuatu.

Ini seperti halnya pernah dilakukan oleh Nick Clooney, jurnalis Amerika yang juga ayah dari aktor Hollywood, George Clooney. Pada 2006, Nick dan anaknya melakukan kunjungan ke Darfur, Sudan, untuk mendokumentasikan adanya praktik genosida di sana.

Sepulangnya, setelah melihat bagaimana penderitaan para korban, Nick menyatakan bahwa dia merasa tak cukup hanya menceritakan bagaimana penindasan terjadi di Darfur. Lebih jauh lagi, dia ingin mendorong para pemirsanya untuk benar-benar bertindak melakukan sesuatu untuk menghentikan kekerasan tersebut.

Jurnalisme advokasi sendiri muncul karena jurnalis melihat ada sebuah ketimpangan dan penderitaan di masyarakat. Tentu saja, untuk melakukan praktik ini, modal utamanya adalah kemampuan jurnalis untuk peka dan berempati terhadap situasi penderitaan yang sedang dia saksikan.

Di Indonesia, dalam situasi saat ini ketika masyarakat dihadapkan dengan aneka konflik, penindasan, bencana, serta pandemi, jurnalisme advokasi menjadi sangat dibutuhkan. Harapannya, melalui pemberitaan-pemberitaan yang muncul dari praktik jurnalisme advokasi, lahir gerakan masyarakat yang mendorong pemerintah atau para pembuat kebijakan untuk mengambil sikap.

Namun upaya mendorong jurnalis untuk mengembangkan keterampilan jurnalisme advokasi tidaklah mudah. Sebagai pekerja media, jurnalis juga dihadapkan pada tuntutan-tuntutan perusahaan untuk membuat berita sebanyak mungkin dan secepat mungkin demi memperoleh traffic yang tinggi.

Padahal dalam jurnalisme advokasi, jurnalis harus bisa membangun engagement yang sangat dekat dengan obyek yang diberitakannya agar dapat merasakan penderitaan mereka, lalu menggambarkannya secara presisi dalam karya jurnalistik yang dibuat sehingga mampu menginspirasi pembaca untuk berbuat sesuatu.

Rangkaian upaya ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dengan kata lain, untuk dapat menjalankannya, jurnalis harus mengorbankan kecepatan dan target jumlah berita harian. Apalagi, tak selalu ada jaminan pemberitaan yang dibangun melalui jurnalisme advokasi dapat mendulang banyak pembaca.

Aspek Bisnis Media

Seorang pimpinan perusahaan media terkemuka pernah berseloroh: Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dengan kata lain, perusahaan media dapat menjalankan roda bisnisnya apabila mereka dipercaya oleh publik.

Berangkat dari gagasan tersebut, maka praktik jurnalisme advokasi seharusnya tidak selalu berlawanan dengan kepentingan bisnis perusahaan media. Sebab, semakin intens praktik tersebut dijalankan, peluang untuk mendapat kepercayaan dan dukungan publik akan semakin besar. Dukungan publik ini dapat dimonetisasi dan hasilnya dapat dikelola untuk membiayai operasional perusahaan. Bukankah seperti yang sudah-sudah, semakin banyak sebuah konten dikonsumsi, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan iklan?

Lagipula, seperti praktik yang sudah dijalankan oleh sejumlah media di Barat, perusahaan media dapat menggalang donasi publik untuk memastikan agar mereka tetap bisa bekerja untuk kepentingan publik. Model yang seperti ini memang masih belum populer di Indonesia, namun sejumlah media telah menjalankannya dan sejauh ini tampaknya berhasil.

Mengembalikan Kredibilitas

Terlepas dari aspek bisnisnya, harus diakui bahwa pers saat ini menghadapi tantangan berupa menurunnya kepercayaan publik. Hal demikian terjadi tak hanya karena informasi yang disajikan kalah cepat dengan di media sosial, tetapi juga karena banyak jurnalis yang kehilangan profesionalismenya dan melakukan praktik-praktik yang menyalahi kode etik.

Karenanya, jurnalisme advokasi menjadi sangat penting untuk bisa mengembalikan kredibilitas pers itu sendiri. Sebab melalui jurnalisme advokasi, publik dibuat sadar bahwa hak-hak mereka pun bisa diperjuangkan melalui pers. Semakin publik sadar bahwa hak mereka dapat diakomodir, kepercayaan publik pun akan meningkat.

Hal ini sama seperti dikatakan Niles (2011). Ketika jurnalisme obyektif meluruh menjadi netralitas pengecut antara kebenaran dan kebohongan, maka kita membutuhkan jurnalisme advokasi untuk mengangkat profesi kita serta mengembalikan kredibilitas para pemimpin.

Penulis: Eben Haezer, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya

Post Comment