Pemerintah dan DPR menyatakan akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir September 2019. Dengan rencana ini, DPR dan pemerintah harus menyelesaikan sejumlah pembahasan pasal yang belum selesai yang itu berpotensi mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil dalam penyusunan buku pidana ini.
Dalam Draf RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019, ada sejumlah pasal yang selama ini dikritik masyarakat sipil karena tak sesuai dengan semangat reformasi dan pemerintahan bersih. Termasuk di dalamnya adalah pasal-pasal yang dinilai bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Menurut kami, setidaknya ada 10 pasal dalam draft RUU KUHP itu yang bisa mengkriminalkan jurnalis dan media dalam menjalankan fungsinya. Masing-masing: Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Melihat draft RUU KUHP tersebut, DPR dan Pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik. Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Selain itu, DPR dan Pemerintah juga menambah pemidanaan baru yang akan berdampak besar bagi jurnalis dan media, yaitu dengan adanya pasal penghinaan terhadap pengadilan.
Menyikapi pembahasan RUU KUHP ini, kami menyatakan sikap:
Mengecam DPR dan Pemerintah yang masih mempertahankan pasal-pasal yang bisa mengkriminalkan jurnalis yang itu setidaknya terdapat dalam Pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305, 354, 440, dan 444. Sikap DPR dan Pemerintah ini tidak menghormati sistem demokrasi yang menempatkan media sebagai pilar keempat –setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif—dalam negara demokrasi.
Meminta DPR dan Pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. RUU itu masih banyak memuat pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Melanjutkan pembahasan ini dalam waktu yang sangat singkat diyakini tidak akan menghasilkan KUHP yang sesuai semangat demokratisasi, selain juga mengabaikan aspirasi masyarakat sipil, organisasi jurnalis dan media.
Meminta DPR dan Pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata. Mempertahankan pemidanaan soal pencemaran nama baik mengesankan dua lembaga itu tak mengikuti perkembangan internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata. Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan memberikan efek menakutkan yang itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan tak sesuai semangat Pasal 6 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang meminta meminta pers berperan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”
Mendesak DPR dan Pemerintah mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Sebab, pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Pasal itu bisa dipakai oleh para penegak hukum yang buruk untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai kepatutan atau undang-undang.
Jakarta, 2 September 2019
Ketua Umum AJI, Abdul Manan (0818948316)
Ketua Bidang Advokasi, Sasmito (085779708669)
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin (085773238190)