MayDay datang lagi! 1 Mei kembali lagi. Hari raya kaum pekerja kembali diperingati. Tentu peringatan dilakukan dengan riang gembira, meski ada banyak isu ketenagakerjaan yang musti diperjuangkan. Ada banyak hal yang alih-alih menyejahterakan, malah membuat para pekerja menjadi tereksploitasi. Kondisi ini terjadi juga di kalangan pekerja media massa. Salah satunya jurnalis atau wartawan.
Saya melihat, ada banyak isu yang musti terus diperjuangkan di era yang disebut sebagai industri 4.0 ini. Diperjuangkan berkali-kali bahkan. Terus menerus bak tak berpunya ujung di akhirnya. Pergulatan. Isu pertama adalah kesadaran kelas yang tak juga terbentuk di kalangan jurnalis. Lalu, kesejahteraan yang jauh dari kata sejahtera itu sendiri. Isu selanjutnya adalah konvergensi media, yang membuat jurnalis terpesona dengan kalimat multitasking. Ke-GR-an karena menganggapnya sebagai pujian dari bos perusahaan.
Kemudian, soal status ketenagakerjaan yang merugikan jurnalis. Isu lain adalah, soal perlindungan hukum bagi jurnalis sangat buruk. Kolaborasi isu-isu ini, menciptakan situasi kerja yang eksploitatif dan merusak kesehatan fisik dan mental jurnalis sebagai manusia. Kasus kekerasan terhadap jurnalis, juga menjadi isu penting. Alih-alih sejahtera, sekali lagi, kondisi kerja macam demikian malah melahirkan iklim jurnalisme di tanah air menjadi semakin terpuruk.
Isu kesadaran kelas menjadi perhatian saya. Mengapa? Karena kesadaran kelaslah yang bisa membuka jalan perjuangan isu-isu lainnya. Miris memang karena masih banyak jurnalis yang tidak sadar bahwa dirinya adalah seorang buruh juga. Terlalu pongah menganggap diri bukan buruh hanya karena merasa diri sebagai ‘wartawan’ yang lebih terhormat ketimbang mereka yang bekerja di pabrik. “Saya bukan buruh. Buruh itu di pabrik.”
“Saya ini jurnalis. Minimal karyawan.” Demikian kalimat yang beberapa kali saya dengar dari kolega saya. Ketika upah naik karena perjuangan yang mereka sebut sebagai buruh pabrik berhasil, sadar atau tidak upah mereka ikutan naik. Yang jelas, bagi mereka, buruh berbeda dengan pegawai atau karyawan meski sama-sama bekerja di bawah kuasa pemilik modal. Kenapa beda? Kolega saya cuma menjawab, “Karena saya jurnalis”. Ajaib memang.
Banyak dari kawan-kawan jurnalis yang lupa, atau bahkan sama sekali tidak memahami, dalam struktur industri media massa, para jurnalis terikat dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelajaran berharga ketika puluhan pekerja Koran Sindo yang baru tersadar mereka adalah buruh ketika menerima surat PHK sepihak. Jurnalis secara profesi memang dilindungi UU 40/1999 tentang Pers. Namun untuk hubungan industrial, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan-lah yang berbicara, Malih!
Belum terbangunnya kesadaran kelas ini membuat agenda perjuangan isu-isu kesejahteraan dan kondisi kerja lainnya terabaikan. Pasalnya, sangat sedikit jurnalis yang tergerak berserikat atau berorganisasi. Di Surabaya misalnya, praktis tidak ada serikat pekerja media. AJI menginisiasi terbentuknya. Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) sebagai wadah perjuangan pekerja media. Namun sulit berkembang. Mengapa demikian? Karena kesadaran kelaslah yang tak juga datang.
Ketika kesadaran kelas sudah terbentuk di beberapa kawan-kawan, masalah lain muncul. Masalah itu adalah represi atau tekanan dari perusahaan media. Para bos media alergi dengan kalimat ‘serikat pekerja’. Mereka menganggap, terbentuknya serikat pekerja, menjadi awal kericuhan di tubuh perusahaan. Dalam hal ini, baik jurnalis maupun perusahaan media, kalah terhormat dengan kawan buruh di pabrik-pabrik yang sadar kelas dan berserikat.
Isu kedua adalah kesejahteraan itu sendiri. Faktnya memang, tidak sedikit para jurnalis dan pekerja media yang diupah di bawah UMR/UMK. Tidak hanya berlaku pada media kecil. Media-media arus utama pun ada pula yang mengupah jurnalisnya dengan nominal tidak layak. Di saat yang sama, tidak banyak perusahaan media yang menjamin kesehatan pekerja media dan keluarganya. Sayangnya, pemerintah abai dalam hal ini.
Ada banyak jurnalis yang diupah Rp 2.500.000,-. Angka itu di bawah UMR Surabaya. Salah satu penyebab ketidakprofesionalan jurnalis adalah soal upah ini. Mereka tidak mampu menutup kebutuhan rumah tangga sehingga menerabas batas kode etik profesi dengan menerima suap dan gratifikasi dari narasumber. Meski praktik ‘amplopan’ itu tidak sepenuhnya karena upah minim. Mereka yang memiliki upah cukup pun tak menjamin tidak melakukan praktik tersebut.
Isu selanjutnya adalah konvergesi media. Konvergensi menjadi keniscayaan dan turut menjadi bagian dari apa yang disebut era industri 4.0! Bagi saya inilah babak baru perbudakan. Bahkan memutakhirnya modus perbudakan. Alih-alih menyejahterakan, babak ini semakin menegasikan pekerja media sebagai manusia. Praktik eksploitasi pekerja dibalut kata ‘multitasking’ atau kemampuan pekerja di lebih dari satu bidang. Celakanya, banyak pekerja media yang terpesona dengan menganggapnya sebagai pujian. Ini keajaiban lain.
Secara sadar, praktik ini mengeksploitasi manusia. Jurnalis dituntut menguasai banyak platform oleh perusahaan, namun minim apresiasi berupa kenaikan tingkat kesejahteraan yang setara. Sederhannya, kalau tiga petak sawah bisa digarap 1 buruh tani, tak perlu ada 2 buruh tani lagi. Jurnalis media cetak misalnya. Harus bisa menulis untuk online, video sampai live streaming. Satu perusahaan, memiliki tiga sampai empat platform bisnis dan dikerjakan satu jurnalis dengan upah tunggal.
Di sini, istilah multitasking tak ubahnya pembodohan. Dampak lain dari era industri 4.0 adalah ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK. Contoh paling sederhana, akan banyak pekerja media di-PHK karena satu pekerja lain bisa menangani berbagai pekerjaan. Jurnalis dibentuk seperti robot dan budak. Tentu, watak bisnis adalah politik upah murah, dengan menggunakan pekerja sesedikit mungkin untuk memaksimalkan keuntungan.
Lalu, saya mengajak anda mengulik sedikit soal status ketenagakerjaan. Di banyak media, para jurnalis tidak memiliki hubungan industrial yang setara dengan posisi perusahaan mereka bekerja. Ada banyak jurnalis yang status ketenagakerjaannya digantung. Tidak jelas. Yang paling purba adalah, berdiskusi soal status kontributor. Ini cukup pelik dan kompleks. Tapi status ini juga syarat eksploitasi.
Betapa tidak, perusahaan media mengikat para pekerja media dengan status kontributor. Mereka tidak memiliki daya tawar atas karya mereka. Perusahaan memonopoli harga dari karya liputan kontributor. Tidak bisa pula menyerahkan karya liputan mereka ke perusahaan media lain yang mau ‘membeli’ dengan harga lebih tinggi. Dengan ikatan yang serba kencang itu, para kontributor ini tidak mendapatkan perlindungan hak dasar yang layak. Misalnya asuransi kesehatan bagi dia dan keluarganya.
Memang, tidak banyak kawan-kawan kontributor yang mau statusnya diubah menjadi karyawan. Itu soal pilihan. Yang tidak bisa dipilih-pilih adalah, kewajiban perusahaan untuk memenuhi hak dasar mereka. Dengan ikatan kerja yang sedemikian ketat, seharusnya perusahaan media tidak longgar dalam menjalankan kewajibannya. Misalnya, ketika terjadi kecelakaan kerja atau sakit, perusahaan tidak mau tanggungjawab!
Ada guyonan satir nan ironi di kalangan jurnalis dan pekerja media. Misalnya seorang jurnalis ‘haruslah’ terserang typus dulu baru disebut jurnalis. Ironi memang. Tapi di balik lelucon itu, menunjukkan betapa tidak teraturnya kehidupan kerja seorang jurnalis meski kesehatan mereka tidak terlindungi oleh perusahaan. Tak sedikit dari kawan saya yang hidupnya berakhir tanpa perlindungan itu. Perusahaan lalu dengan mudah mendapatkan ganti jurnalis baru.
Sayang, situasi kerja semacam ini terus lestari dan menjadi lazim di era industri (omong kosong) 4.0. Menjadi lumrah sampai terlalu malas membahasnya. Tidak sedikit yang berseloroh, kalau tidak kuat tidak perlu menjadi jurnalis. Tinggalkan gelanggang saja, masalah tuntas. Bagi saya, mereka yang memiliki seloroh itu, contoh sederhana sebuah kelompok yang tak memiliki kesadaran kelas pekerja.
Terakhir, soal kekerasan. Kalau berbicara soal ini, di situ saya merasa sedih. Senin, 29 April 2019, menjadi hari yang menyedihkan itu. Majelis hakim Pengadilan Negeri Bangkalan, memutus bebas terdakwa kasus kekerasan dan penghalang-halangan kerja jurnalis Ghinan Salman. Kasus ini terjadi 2,5 tahun lalu. Vonis ini menegaskan, jurnalis tidak mendapatkan perlindungan hukum. Jalan mencari keadilan pun menjadi begitu terjal dan suram.
Perlindungan tidak pernah diberikan seutuhnya, baik dari negara, masyarakat apalagi perusahaan. Tidak banyak perusahaan media yang memiliki standar perlindungan yang baik untuk jurnalisnya. Di banyak kasus, para jurnalis korban kekerasan malah ditekan dan menjadi pihak yang dikorbankan untuk kedua kalinya. Sudah tidak bisa menyejahterakan, perusahaan media cenderung cuci tangan dalam hal perlindungan kepada jurnalisnya.
Ya demikianlah kabar buruk dari MayDay tahun ini (yang sebenarnya dari tahun ke tahun bahkan di tahun-tahun berikutnya sama saja). Namun, selalu ada kabar baiknya. Yaitu, AJI tetap konsisten memperjuangkan isu-isu pelik di atas sebagai bagian dari napas organisasi. Kabar baik yang lain, kawan-kawan di AJI Surabaya masih memiliki kesadaran kelas yang sama dengan para pekerja dari semua sektor industri untuk turun ke jalan merayakan MayDay dengan suka cita.
Selamat Hari Raya Buruh, Selamat bergembira para pekerja pemberani! Minal Aidzin Walfaidzin. Karena jurnalis juga BURUH!
Surabaya, 1 Mei 2019
Miftah Faridl
Pekerja Media/ Ketua AJI Surabaya