Penolakan Remisi Untuk Susrama Bukan Hanya Soal Jurnalisme Tapi HAM

Solidaritas Masyarakat Surabaya dari berbagai elemen masyarakat memegang surat keberatan pemberian remisi pada Susrama, pembunuh jurnalis yang akan dikirim ke Presiden RI

Penolakan pemberian remisi oleh masyarakat dan jurnalis, tidak hanya soal jurnalisme. Tapi hal yang lebih besar lagi yaitu hak asasi manusia atau HAM. Miftah Faridl Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya menegaskan ini tadi, Senin (4/2/2019), diantara deklarasi penolakan remisi dan penandatangaban surat keberatan Solidaritas Masyarakat Surabaya di kantor Kontras, Jalan Jalan Hamzah Fansuri 41 Surabaya.

“Pembunuhan pada terhadap jurnalis sama dengan kasus HAM berat. Sehingga kita akan terus melakukan gerakan kampanye atau demonstrasi supaya pemerintah mencabut remisi ini,” ujar Faridl.

Pencabutan remisi ini juga penting untuk melindungi sembilan kasus pembunuhan jurnalis lain. Sehingga praktek impunitas ini bisa dihilangkan dan pembunuh bisa diungkap.

AJI juga tidak akan berhenti memperjuangkan perjuangan Prabangsa. Bahkan sejak ada kasus ini sudah ada tim investigasi khusus yang dibentuk untuk mengawal kepolisian mengungkap pembunuhan AA Narendra Prabangsa Wartawan Radar Bali 2009 silam.

AJI bersama elemen masyarakat sipil lain, hari ini menyuarakan penolakan pada remisi Jokowi Presiden yang diberikan pada Nyoman Susrama, yang merupakan otak pembunuhan Prabangsa. Kelompok masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Masyarakat Surabaya itu sepakat, remisi mengusik keadilan masyarakat dan pro impunitas.

Mereka membuat surat terbuka yang ditujukan kepada Joko Widodo Presiden RI. Solidaritas Masyarakat Surabaya terdiri dari Kontras Surabaya, LBH Surabya, HRLS Universitas Airlangga, Pusham Universitas Surabaya, CMARs, PUSAD UMS, Jawa Pos , AJI Surabaya, dan beberapa kampus di Surabaya. Surat yang mereka buat mendesak pencabutan remisi Susarma, penyelesaian kasus kekerasan pada jurnalis, dan penghentian pemberian impunitas.

Optimis Revisi Remisi Akan Dikabulkan

Solidaritas Masyarakat Surabaya optimis, Presiden akan merevisi remisi yang diberikan pada Susrama.

Herlambang Wiratraman dari HRLS Universitas Airlangga bilang, “Saya masih yakin pemangku kepentingan, Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah mampu dan menyakini bisa mengoreksi.”

Kasus ini bukan pembelajaran dalam tatanan birokrasi pemerintahan tapi untuk menegakkan hukum dan demokrasi di Indonesia. Kalau revisi remisi ini gagal, dampak paling kasat mata upaya membongkar impunitas akan tidak mudah lagi, karena pelaku kejahatan bisa begitu mudahnya dapat remisi. Dan ini akan menunjukkan pemerintah absen dalam komitmen mewujudkan kebebasan pers.

Selain Prabangsa, masih banyak kasus pembunuhan jurnalis lain yang belum terungkap. Makanya pengungkapan pembunuhan Prabangsa merupakan kasus istimewa karena menjadi sebuah sejarah perjuangan atas hukum pers. Kasus lain seperti kematian Ardiansyah Matrais di Papua, Herlianto di Probolinggo, dan jurnalis lain sampai saat ini belum terungkap pembunuhnya.

Optimisme juga disampaikan Wakhid Habibilah dari LBH Surabaya. Ada celah yang bisa membuat remisi dibatalkan.

“Celah pemberian remisi ini berhubungan dengan prosedur dan syarat pemberian remisi dan masyarakat merasa tercederai keadilannya sehingga presiden harus mencabut remisi”, ujar Wakhid.

Tidak hanya Susrama tapi juga remisi pada 100 narapidana lain yang juga dapat remisi. Dan belum diketahui mana yang teroris atau koruptor. Karena tidak diungkap oleh pemerintah. Selama ini masih remisi satu orang saja, Susrama, yang dipermasalahkan.

Dasar Kebijakan Pemberian Remisi Perlu Direvisi

Dasar pemberian remisi untuk narapidana sesuai Keppres 174 Pasal 9 Tahun 1999. Dalam pasal ini ada celah hukum yang perlu direvisi agar ada fungsi check and balances, prinsip subyektifitas pemerintah dalam memberikan remisi. Wakhid menegaskan remisi dalam hitungan bulan adalah hak narapidana tapi remisi khusus seperti yang diberikan pada Susrama akan mengubah jenis hukuman.

“Keppresmengatur peraturan, tapi produk hukumnya keputusan. Ini yang menjadi masalah dalam hukum administrasi,” ujar Wakhid.

Dalam Keppres 174 Pasal 9 Tahun 1999 mengatur remisi khusus yang bisa mengubah masa tahanan dari seumur hidup menjadi 20 tahun. “Ini yang jadi domain grasi yang sudah diatur konstitusi. Dan Grasi itu harus dapat persetujuan dari Mahkamah Agung,” Wakhid menambahkan.

Soal kriteria pemberian remisi sudah dijelaskan dalam Keppres; narapidana sudah menjalani masa tahanan lima tahun, berkelakuan baik, dan mengakui kesalahan. Pihak yang berhak melakukan penilaian adalah pemerintah. Sayangnya penilaian ini tidak dijelaskan pada masyarakat. Padahal pemerintah terikat pada administrsi pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Revisi Remisi Tidak Dicabut vs Dicabut

Wakhid menjelaskan ada alasan mendesak soal keadilan masyarakat untuk Presiden mendengar tuntutan Solidaritas Masyarakat Surabaya. Apabila revisi ini tidak dicabut, LBHI akan melakukan upaya hukum dan menyerahkan pengadilan menilai.

“Kalau sudah direvisi kemungkinan ada penolakan dari Susrama. Dan ini resiko pemerintah, memilih mendengar masyarakat yang lebih banyak atau satu orang saja, pungkas Wakhid.

Dibunuh Karena Meliput Kasus Dugaan Korupsi di Diknas Bangli

Prabangsa dibunuh 2009 silam. Diketahui saat itu dia sedang meliput dugaan korupsi di Diknas Bangli. Diantaranya salah satu proyek yang ditangani Nyoman Susrama yang juga adik Bupati Bangli saat itu. Susrama terpidana otak pembunuhan Prabangsa merupakan kontraktor yang sering menang tender proyek di Bangli.

Penelusuran Tim Investigasi AJI Bali menemukan, dua bulan sebelum Prabangsa dibunuh dia menulis 4 berita terkait dugaan korupsi di Bangli, tempat kelahirannya yang semuanya dirilis Desember 2008. Yaitu, “Pengawas Dibentuk setelah Proyek Jalan” yang terbit 3 Desember 2008. Lalu “Bagi-bagi Proyek PL Dinas Pendidikan Bangli” yang ditulis 8 Desember 2008. Dan terakhir berita berjudul “SK Kadis Dinilai Cacat”. (Maria)

Post Comment