Kalimat pertama yang saya ingin ucapkan adalah pemohonan maaf atas unggahan ciutan ‘Jurnalis yg nulis koplak pisan. Detail sekali gambarkan modus pelecehan seksualnya. Korban sprti diperkosa dua kali” saat merespon ciutan berisi link berita yang disajikan Balairung tentang dugaan pemerkosaan mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Saya juga menyampaikan rasa empat dan dukungan kepada penyintas.
Saya meminta maaf karena menggunaan diksi ‘koplak’ sangat reaksioner dan berlebihan. Melihat reaksi publik, ini menjadi evaluasi kami dalam berkomunikasi melalui media sosial. Sekali lagi, kami meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada penulis, Balairung dan kawan-kawan yang fokus melakukan pembelaan terhadap penyintas.
Perkenalkan, saya Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Secara struktur, saya orang yang paling bertanggungjawab atas cuitan itu. Dan cuitan itu tidak akan saya hapus sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan dan permohonan maaf saya. Semoga masalah ini tidak mereduksi pembelaan yang kawan-kawan lakukan setelah surat terbuka ini saya rilis.
Berkaitan dengan sikap AJI Surabaya terkait gaya penulisan Balairung, juga memunculkan reaksi. Baik reaksi yang bersifat diskursus, maupun yang sekadar menghujat. Bahkan ada pula yang menganggap AJI secara keseluruhan, bukan hanya AJI Surabaya, tidak pro penyintas kekerasan seksual. Tentu saya sayangkan anggapan itu. Yang saya pahami, kritik terhadap gaya penulisan Balairung, adalah bentuk perlindungan terhadap korban/ penyintas kekerasan seksual.
Terima kasih kepada Balairung atas unggahan berisi argumentasi redaksi terkait hal-hal yang dipermasalahkan. Saya mengapresiasi tanggapan itu karena berisi argumen disertai contoh. Soal gaya penulisan liputan kekerasan seksual, memang menjadi diskursus di internal AJI. Hingga saat ini, diskusi itu masih berlangsung dan terus berkembang. Pro dan kontra, saya katakan iya. Dalam organisasi kami, itu hal biasa.
Saya sudah membaca berita berjudul ‘Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan’ itu. Saya pun marah dengan peristiwa tersebut. Namun saya tercekat ketika membaca paragraf 9 dan 10. Saya dan beberapa kawan-kawan yang membaca, juga kaget dengan bahasan detail bagaimana cara pelaku melancarkan aksinya. Pada paragraf lainnya, penulis sangat baik menarasikan semua hal yang dialami dan dilakukan penyintas.
Bagi kami, gaya penulisan ini tidak sesuai kode etik jurnalistik (KEJ) Dewan Pers. Di AJI, saya terikat pula pada Kode Etik dan Kode Prilaku yang juga ada bahasan soal bagaimana peliputan kekerasan seksual. Ada pula pedoman peliputan dan seruan Dewan Pers terkait penulisan kasus kekerasan seksual. Artinya, kritik AJI Surabaya memiliki basis rujukan. Saya menyayangkan, kritik ini kemudian menjadi anomali karena menganggap kami tidak berprespektif korban/ penyintas.
Justru, bekerja sesuai prinsip dan etik jurnalistik, adalah upaya kita untuk memastikan perlindungan terhadap korban/ penyintas. Reaksi muncul berbagai rupa. Dari yang mengkritik, menghujat sampai penyimpulkan kami seperti apa. Namun, saya gembira karena Balairung berhasil membuka pandora sehingga isu ini menjadi diskursus di ruang publik. Saya mengistilahkan dengan literasi di khalayak, bahkan jurnalis.
Dengan pengalaman dan keterbatasan pengetahuan saya, saya berusaha menjelaskan apa dan bagaimana sikap AJI Surabaya terkait gaya penulisan Balairung. Tentu saja ini bukan upaya mengalihkan isu pembelaan ke soal gaya penulisan. Ini ikhtiar kami melindungi penyintas. Saya yakin, AJI dan Balairaung dan semua pihak yang peduli dengan kasus ini, ingin penyintas mendapatkan keadilan.
Beberapa kali saya meliput kasus kekerasan seksual. Untuk memudahkan dan mempersingkat waktu, saya sajikan dalam bentuk Q&A.
Kan sudah izin ke penyintas
Ya, izin memang mutlak dilakukan bahkan di tahap paling awal yakni bertemu dengan nara sumber. Izin disampaikan ke orang tua, wali, pendamping, atau orang yang ditunjuk oleh penyintas. Tapi izin bukanlah satu-satunya. Izin berlaku pada hal-hal yang melanggar kode etik. Contohnya, saya pernah dibolehkan seorang ibu menulis detail bagaimana cara pelaku mencabuli anaknya. Ibu itu tetap meminta privasi dia dan anaknya dirahasiakan. Muncul pertanyaan, ya tentu tidak boleh karena korbannya kan anaknya. Dalam hal ini, orang tua pun juga seorang penyintas dan memiliki trauma. Itu tidak saya ungkap. Toh publik percaya memang kasus itu ada. Bahkan mendorong orang tua lain ikut melapor.
Dengan menarasikan bagaimana pemerkosaan itu terjadi (kronologi), relasi kuasa pelaku terhadap penyintas, apa yang dialami penyintas pasca peristiwa, sampai respon institusi berwenang terhadap kasus ini, cukup menggambarkan apa yang dialami penyintas. Narasi penulis Balairung sangat kuat. Ketika semua hal itu dinarasikan dengan kuat, cara pelaku memperkosa korban harusnya dihindari disajikan di publik.
Kalau tidak dijelaskan nanti pembaca tidak tahu jelas kondisi penyintas
Referensi yang kami pegang adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers pasal 4: ‘Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Memang, dalam tafsir dijelaskan cabul itu menggambarkan tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar suara, grafis atau tulisan semata-mata untuk membangkitkan birahi ini sangat sempit dan cekak. Karena itu, perdebatan di AJI soal tafsir ini berkembang. Ini bukan soal ‘membangkitkan birahi’. Saya pun yakin kawan-kawan di Balairung tidak melakukan itu.
Kami menolak tafsir itu. Mengapa? Tafsir itu merupakan jebakan dari pengertian pornografi yang disusun pemerintah. Dan itu menegasikan, misalnya pendidikan seks yang penting bagi publik, tetapi selama ini dianggap tabu. Dalam Kode Perilaku AJI, jurnalis tidak mengumbar kecabulan, kekerasan fisik dan psikologis serta kekerasan seksual dalam arti, perlindungan terhadap korban/ penyintas dari saat sebelum diwawancarai sampai hasil liputan itu dipublikasi.
Kami memberi perspektif lebih jauh pada definisi perlindungan terhadap korban/ penyintas. Pada kasus tertentu yang pernah saya alami, korban tidak memahami risiko yang akan dihadapi ketika ia membolehkan mengungkap sesuatu yang seharusnya dihindari. Di situlah tugas jurnalis menjelaskan kepada nara sumber tentang risiko-risiko itu.
Saya sudah melakukan survei kecil-kecilan. Saya bagi artikel Balairung itu kepada sepuluh teman saya, (mohon maaf) dengan menghilangkan paragraf 9 dan 10. Hasilnya, mereka marah kepada pelaku dan UGM serta percaya dan berempati kepada korban.
Artinya, dari survei itu dan pengalaman selama di lapangan, tidak ada korelasi antara tingkat kepercayaan pembaca dengan keharusan menulis detail cara pelaku memperkosa penyintas. Semua bergantung pada bagaimana kita menarasikan cerita penyintas. Bagaimana caranya? Tentu saya yakin kawan-kawan Balairung memiliki kompetensi.
Saya khawatir, jika dalil mengulas detail cara pelaku memperkosa korban agar publik percaya atau paham kasus ini, secara tidak sadar akan menggeser prespektif pembelaan terhadap korban/ penyintas ke prespektif pemenuhan kebutuhan pembaca. Padahal semangat awal jurnalisme advokasi adalah pembelaan terhadap penyintas. Dampaknya adalah revictimasi.
Kan banyak artikel di luar negeri yang mengungkap gamblang cara pelaku memperkosa korban
Ya memang ada banyak. Namun ada konteks yang harus dipahami. Diakui atau tidak, masyarakat kita tidak seterbuka di Amerika Serikat atau Eropa. Penerimaan masyarakat kepada korban kekerasan seksual, masih sangat diskriminatif. Stigma satu di diantaranya. Karena itu, hal-hal yang berpotensi merugikan penyintas, harus dihindari. Upaya ini tidak dan bukan untuk menutupi fakta bahwa pemerkosaan itu memang terjadi.
Pengalaman saya ketika melakukan peliputan investigasi kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Karangasem, Bali, membuka mata saya bahwa sebagian kelompok masyarakat malah menganggap korban yang salah dan peristiwa itu sebagai aib yang wajib ditutupi.
Meski mereka tidak keberatan saya menulis cara pelaku memperkosa anak mereka, tapi itu tidak saya lakukan. Toh, tanpa harus menjelaskan detail bagaimana cara pelaku memperkosa korban, fakta bahwa pelecehan seksual itu terjadi, tidak bisa dielak lagi. Fakta tetaplah fakta.
Korban/ penyintas kejahatan seksual menghadapi lapisan represi pasca keberaniannya dipublikasi. Misalnya, kriminalisasi korban, stigma masyarakat yang ditunjukkan dengan penolakan sampai tercerabutnya hak berekonomi. Media massa tidak berdiri di ruang hampa. Media massa hidup di ruang publik yang memiliki kontur berbeda. Kebijaksanaan dalam pilihan-pilihan penulisan, bukan sekedar izin dari penyintas, sangat diperlukan.
Jangankan negara, tiap daerah dalam sebuah negara saja memiliki tipologi berbeda. Karena itu, Seruan Dewan Pers yang dirilis pada 2013 meminta jurnalis harus berhati-hati, empati dan yang tak kalah penting adalah bijaksana.
Prinsip ini juga untuk melindungi publik atau korban lain yang masih memendam rasa trauma. Hal yang tak boleh dilupakan, cara pelaku memperkosa yang disajikan terlampau detail juga berpotensi menimbulkan copycat atau kejahatan baru yang terinspirasi kejahatan yang sebelumnya. Saya pun pernah meliput kasus yang masuk kategori copycat ini.
Di ciutan AJI Surabaya, ada juga sedikit contoh teknik penulisan. Kita tidak perlu menjelaskan bagaimana cara membuat bom kepada publik untuk memberi informasi kepada publik mereka lihat adalah bom yang meledak. Tidak perlu pula menjelaskan detail bagaimana kondisi korban setelah terkena bom untuk menggambarkan daya rusaknya.
Tak perlu menggunakan diksi cantik atau tampan untuk menggambarkan fisik nara sumber kita karena ukuran cantik dan tampan sangat relatif. Bahkan dalam insiden kecelakaan, jurnalis sedapat mungkin menghindari kalimat potongan tubuh dan menggantinya dengan bagian tubuh sebagai upaya menghindari penebalan trauma keluarga korban. Soal narasi dan pemilihan diksi sangatlah penting dan itu tidak akan menutupi fakta yang ada.
Kan media arus utama juga tayangkan berita ini
Oh iya. Tapi saya tegaskan, jurnalis dan media arus utama tidak semua memiliki prespektif baik dan cukup pada masalah-masalah ini. Saya pun masih perlu banyak belajar. Komnas Perempuan pernah melakukan riset ‘ANALISA MEDIA: “Sejauhmana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual? (Januari-Desember 2015)”. Hasilnya? Sila diakses. Sekadar spoiler, rujukan etik tidak bisa sepenuhnya disandarkan kepada jurnalis dan media arus utama. Di banyak diskusi yang saya hadiri di persma-persma, saya meyakinkan ke kawan-kawan di kampus kalau mereka jauh beretika dan memegang prinsip jurnalisme dibandingkan sebagian jurnalis media arus utama.
Sebagai pribadi, saya berharap soal gaya penulisan menjadi diskusi di urutan terakhir setelah proses pembelaan kepada penyintas, karena inilah yang lebih utama. Demikian penjelasan saya. Mohon maaf kalau terlalu panjang. Saya tidak bermaksud menggurui, ini hanya diskursus yang selayaknya ditampilkan untuk jurnalisme yang lebih baik.
Saya percaya, jurnalisme yang baik membawa kebaikan. Selebihnya, saya dan AJI Surabaya mengapresiasi penulis dan mendukung Balairung melakukan pembelaan melalui jalan jurnalisme kapada korban. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Saya dan kami bersama Agni. Salam.
Surabaya, 8 November 2018
Nuwun sanget,
Miftah Faridl
Ketua AJI Surabaya