Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya kembali turun ke jalan memperingati Mayday atau Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2018. Kami menyuarakan permasalahan perburuhan yang dihadapi para jurnalis. Permasalahan itu antara lain, soal jaminan sosial, kesejahteraan, status ketenagakerjaan dan berbagai pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Dalam hal soal jaminan sosial, para jurnalis di Surabaya banyak yang belum mendapatkan haknya, yakni didaftarkan sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Ketidakpedulian perusahaan media atas pemenuhan hak normatif ini, membuat para nasib jurnalis semakin terhimpit. Padahal, sesuai amanat undang-undang, setiap perusahaan harus mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS.
Untuk kesejahteraan, di Surabaya masih banyak jurnalis yang diupah sangat tidak layak. Bahkan jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Masih ada saja ditemui jurnalis yang diupah tak lebih dari Rp2.000.000,-. Dengan upah sebesar itu, mustahil bisa hidup layak di kota Surabaya. Kondisi ini kadang dijadikan alasan para jurnalis mau menerima pemberian uang dari narasumber meski tahu itu melangar kode etik jurnalistik.
Masalah lain adalah status ketenagakerjaan. Ada banyak jurnalis berstatus kontributor, yakni dibayar per berita oleh perusahaan media. Upah mereka tidak menentu. Tidak ada jaminan sosial apapun dengan status kontributor. Masalahnya adalah, perusahaan mengekang jurnalis tersebut dengan hanya boleh menyetorkan berita untuk mereka. Namun, perusahaan media ini enggan menganggkatnya sebagai karyawan.
Soal lain adalah, pemutusan hubungan kerja atau PHK sepihak. Beberapa waktu lalu, puluhan pekerja media di PHK oleh perusahaan koran dengan alasan efisiensi. Perusahaan mem-PHK para pekerjanya dengan tanpa negosiasi terkait hak-hak karyawan. Kami secara nasional kemudian mengadvokasi kasus ini. Potensi PHK semacam ini terbuka lebar karena gencarnya media online.
Namun kami menyadari, tidak banyak jurnalis yang paham dengan siapa sebenarnya mereka. Buruh-kah, karyawan-kah, pegawai-kah, pekerja-kah atau bahkan tidak menganggap semua itu. Banyak dari jurnalis yang menganggap diri adalah jurnalis itu sendiri. Mereka tidak paham, bahwa menjadi jurnalis itu memang profesi yang dilindungi UU 40/1999 tentang Pers.
Namun, sebagai pekerja, hak dan kewajiban mereka terikat pada UU 13/2004 tentang Ketenagakerjaan. Mereka baru sadar merupakan bagian dari kelas pekerja, buruh, ketika mendapati masalah sengketa dengan perusahaan. Misalnya PHK dan hak-hak yang tidak dibayarkan perusahaan. Dikiranya, bekerja dengan laptop, gawai mahal, sampai leluasa berteman dengan pejabat lantas terlepas dari empat masalah besar di atas.
Ketidakpahaman ini bukan tanpa sejarah. Rezim Orde Baru memang mengharamkan pengistilahan buruh. Sehingga yang muncul adalah berbagai diksi pemisah makna, yakni karyawan dan pegawai. Maka tak heran, banyak jurnalis yang enggan disebut buruh. Pasalnya, dalam pikiran mereka, buruh hanya ada di pabrik-pabrik dan memiliki pengertian yang buruk. Itu tidak sesuai dengan status mereka yang kelas menengah dan mengenyam pendidikan tinggi hingga memiliki profesi sebagai jurnalis.
AJI Surabaya dan Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) terus menyuarakan hal ini kepada para jurnalis sekaligus melakukan advokasi-advokasi. Artinya, ada dua pekerjaan besar yang harus kami kerjakan. Pertama menguatkan serikat pekerja termasuk meliterasi para jurnalis. Kedua, melakukan advokasi-advokasi baik yang berkaitan dengan sengketa jurnalistik, kekerasan sampai tentang hubungan industrial.
Bagi AJI Surbaya, turun ke jalan dalam MayDay bukan soal solidaritas. Bagi kami ini soal kesadaran sebagai bagian dari kelas pekerja, sebagai bagian dari mereka yang ada di pabrik-pabrik sampai di kantor-kantor ber-AC. Selama jurnalis itu terikat dalam relasi kuasa industri, diupah atau dibayar, diatur kerjanya, suka tidak suka mereka adalah buruh. Maka berserikatlah biar kuat.
Kami menuntut agar perusahaan media:
1. Hentikan praktik upah murah. (Dari perhitungan AJI Surabaya, minimal upah layak bagi seorang jurnalis di Surabaya 2018, minimal Rp 5.500.000).
2. Penuhi semua hak normatif, termasuk kepersertaan BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja.
3. Pemberlakuan 8 jam kerja, selebihnya dihitung lembur.
4. Bebaskan para kontributor menjual karyanya ke perusahaan media yang dianggapnya lebih menguntungkan.
5. Berikan hak-hak jurnalis perempuan, misal ruang laktasi.
6. Hentikan PHK sepihak.
7. Hentikan intimidasi berdirinya serikat pekerja media.
AJI Surabaya
1 Mei 2018