SIARAN PERS: Sudah Bebaskah Pers Kita?

Tahun ini World Press Fredoom Day diperingati bertepatan dengan 20 tahun runtuhnya Rezim Orde Baru. Rezim Soeharto yang dicatat sebagai era pembelengguan pers. Jurnalis dan media massa dibungkam dan hanya mewartakan narasi tunggal dari penguasa. Ketika Rezim Soeharto ambruk, kebebasan pers pun kita teguk. Tepatnya 23 September 1999 ketika UU 40/1999 tentang Pers diberlakukan.

Namun benarkan setelah 20 tahun masa kelabu itu, pers kita benar-benar bebas? Bila ditilik dari jumlah media massa yang berkembang, mulai dari televisi, radio, cetak sampai online, jawabannya mungkin YA. Tetapi kebebasan pers bukan soal berapa banyak media yang lahir. Kebebasan pers itu soal esensi pers itu sendiri, yakni apakah prinsip-prinsip jurnalistik berjalan dengan baik.

Dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 640 kasus kekerasan yang dialami jurnalis dalam 10 tahun terakhir. Ada berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik, intimidasi atau teror, perampasan alat kerja sampai penghilangan paksa hasil karya. Wartawan Radar Madura, Ghinan Salman, dikeroyok pegawai negeri sipil saat melakukan peliputan pada 2016. Kasusnya pun tak kunjung disidangkan.

Begitu juga dengan jurnalis Harian Surya, Sugiono yang dituduh mencemarkan nama baik dalam UU ITE ketika berusaha memverifikasi informasi. Bahkan, beberapa dari jurnalis dibunuh karena berita. Prabangsa, jurnalis Radar Bali, dibunuh pada 2009 lalu. Ada berbagai kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang belum juga dituntaskan, misal kasus Fuad Muhammad Syafruddin, jurnalis Bernas, yang dibunuh pada 1996 silam.
Masalah lain muncul ketika kita berbicara soal kemerdekaan pers yakni intervensi pemilik media ke ruang redaksi. Pemilik media dalam hal ini adalah mereka yang merangkap sebagai pemilik sekaligus ketua partai. Dalam banyak kasus, media massa ini malah berubah menjadi corong politik partai pemilik media. Belum lagi para jurnalis yang bekerja di media massa itu harus melawan pemilik media.
Tekanan pemilik media partisan ini bisa kita lihat dari Pilpres 2014 lalu. Pers terbelah sesuai dengan kepentingan pemilik media dan afiliasi politiknya. Kondisi yang sama bisa saja terjadi pada Pilpres 2019. Dengan perasaan takut karena relasi kuasa, para jurnalis dibuat tidak berdaya.  Praktik ini membuat hak publik untuk mendapatkan informasi yang layak menjadi terabaikan. Media massa yang sejaitnya melayani kepentingan publik, berubah menjadi pelayan pemilik.

Di sisi lain, tak banyak jurnalis memiliki kesadaran terhadap sejarahnya. Alih-alih berserikat atau berorganisasi melawan penyimpangan terhadap pers, banyak dari mereka yang menjadi bagian dari ‘penyakit’ itu sendiri. Yang paling mudah dilihat, mereka menjadi ‘corong’ dan berpraktik layaknya humas salah satu pasangan calon kontestan politik dalam Pilkada.

Dikiranya kebebasan pers yang dihirup hari ini jatuh dari langit. Padahal ada jiwa dan raga yang dipertaruhkan. Ada tubuh yang dibelenggu dalam dingin penjara. Lalu hari ini, mereka yang bangga mengaku jurnalis/ wartawan melacurkan profesi ini atas nama kebebasan itu sendiri. Yang demikian, tidak lain adalah bentuk kehinaan. Kami sendiri tidak tahu di mana letak kebanggan mereka ketika, etika dan prinsip jurnalistik digadaikan untuk kepentingan pribadi.

Melihat kondisi tersebut, ada banyak pekerjaan rumah bagi para jurnalis untuk mewujudkan kebebasan pers. Yang kami pahami, kemerdekaan itu adalah bebas dari rasa takut ketika berbicara tentang praktik ketidakadilan, ketika kami bebas menjadi jurnalis yang bukan corong rezim, bukan pula tadah ludah pemilik media partisan. Ketika itu belum juga terwujud, maka kebebasan pers belum sepenuhnya menemukan bentuknya.

Selamat Hari Kebebasan Pers se-Dunia untuk kawan-kawan jurnalis pemberani!