Jurnalis Pers Mahasiswa Korban Kekerasan, Siapa yang Bela?

Mahasiswa, AJI Bandung, & TAJI melakukan aksi menuntut penuntasan secara serius tindak pidana pengahlangna liputan terhadap Iqbal (Foto: AJI Bandung)

Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian Polrestabes Bandung terhadap Jurnalis Pers Mahasiswa Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Muhammad Iqbal menjadi bukti masih pongahnya aparat negara memahami kerja jurnalis. Lalu, bagaimana kalau korban kekerasan adalah jurnalis pers mahasiswa? Apakah Dewan Pers ikut turun tangan mengadvokasi?

Dalam Kongres ke-10 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Solo akhir tahun lalu, diputuskan bahwa jurnalis pers mahasiswa menjadi bagian dari jurnalisme. AJI pun mengakomodir jurnalis pers mahasiswa menjadi anggotanya. Keputusan ini merupakan sikap konsisten dari AJI, bahwa berjurnalisme itu berazas pada nilai yang diejawantahkan dalam bentuk karya, bukan cuma soal formalisme atau berkaca pada ‘resmi’ tidaknya media tempat jurnalis bekerja.

Dalam konteks kasus yang dialami Iqbal di Bandung, jelas yang bersangkutan menjadi korban kekerasan karena aktivitasnya menjalankan tugas jurnalistik. Iqbal mengambil gambar beberapa anggota polisi tengah menyeret sejumlah peserta aksi. Sesaat kemudian, Iqbal ditarik seorang polisi. Polisi itu lantas meminta kartu pers Iqbal. Saat itu juga Iqbal langsung memperlihatkan kartu persnya.

Polisi tersebut menarik Iqbal masuk ke dalam truk dalmas. Di sana Iqbal diintimidasi. Polisi itu minta kamera Iqbal dan berusaha menghapus karya jurnalistiknya berupa foto. Iqbal sempat menolak dan melawan. Namun tak kuasa dengan sikap intimidatif polisi. Tak hanya sampai situ, polisi tersebut memukul wajah Iqbal sebanyak dua kali. akibatnya pelipis wajah Iqbal memar.

Lalu, siapa yang akan membela Iqbal, jurnalis pers mahasiswa ini?

Sejauh ini kawan-kawan AJI Bandung dan Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI) yang mengadvokasi Iqbal. AJI melakukan advokasi dengan tidak membedakan mana jurnalis pers mahasiswa dan mana yang jurnalis media arus utama. Pengakuan AJI atas pers mahasiswa, memiliki konsekuensi pada pembelaan atau advokasi yang setara.

Mahasiswa, AJI Bandung, & TAJI melakukan aksi menuntut penuntasan secara serius tindak pidana pengahlangna liputan terhadap Iqbal (Foto: AJI Bandung)

Dalam sebuah acara yang digelar Dewan Pers di Kampus Univestitas Surabaya beberapa waktu lalu, Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl melontarkan pembelaan terhadap media alternatif, termasuk pers mahasiswa yang berintegritas. Lontaran itu lantas memantik Ketua Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo berbicara di hadapan peserta diskusi.

Stanly, sapaannya, mengatakan, heran dengan AJI yang mengakomodir jurnalis pers mahasiwa sebagai anggota. Ia juga mengatakan status AJI sebagai konstituen Dewan Pers bisa dievaluasi. Pasalnya, ia menganggap AJI sebagai organisasi profesi, namun banyak hal di luar keprofesian disikapi AJI. Termasuk, pengakuan terhadap pers mahasiswa.

Mencuplik pernyataan dari Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya yang juga Ahli Pers Dewan Pers, Herlambang Wiratraman, pers itu bukan hanya soal normatif belaka, melainkan soal nilai. Pengakuan AJI ke media alternatif termasuk pers mahasiswa, dia anggap sebagai pengakuan atas nilai, yaitu kerja dan karya. Prinspip jurnalistik diuji melalui kerja dan karya.

Azas nilai berpegang pada aspek prinsip-prinsip jurnalistik yang diajalankan sebagai kaidah berkarya. Sedangkan azas normatif, hanya berpedoman pada soal administrasi dan pengakuan resmi dari sebuah lembaga atau otoritas. Azas ini merujuk pada aspek pers sebagai industri. Tentu, AJI Surabaya berharap, Dewan Pers lebih mengedepankan azas nilai dalam melihat dunia pers kita.

Tidak bisa dipungkiri, tumbuh kembang AJI sebagai organisasi tidak luput dari dunia kampus, tidak lepas dari pergerakan pers mahasiswa. Pada banyak kasus, pers mahasiswa bahkan jauh lebih beretika dan berpihak pada kepentingan publik dibandingkan media maisntream yang sekalipun sudah terverifikasi di Dewan pers. Contohnya? Mudah. Banyak media partisan yang sampai saat ini masih asyik melenggang.

Dilihat dari kerja-kerjanya, Iqbal meliput aksi penolakan Rumah Deret di Kantor Walikota Bandung, Jalan Wastukencana Kota Bandung, Kamis siang (12/4). Liputan ini dari aspek berita, sudah memenuhi unsur. Misalnya soal menyangkut kepentingan publik. Lalu, apa yang menghambat pembelaan terhadap pers mahasiswa ketika mereka sudah menetapkan diri sebagai pelayan publik?

Kawan-kawan di Bandung sudah melapor ke polisi. Penyidik, pasti akan mencari dalil untuk membuktikan apakah Iqbal termasuk kategori jurnalis? Apakah yang dilakukannya termasuk liputan? Apakah laporan itu masuk delik pers atau pidana umum? Dan masih banyak pertanyaan lain. Pembuktian itu nanti akan merujuk pada Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 Pasal 8, yang menyebutkan wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.

Selain itu, Pasal 18 menyebutkan, pihak yang menghalang-halangi tugas seorang jurnalis masuk pelanggaran hukum pidana. Sejauh ini, yang memiliki kewenangan untuk menyatakan itu, yang memiliki posisi hukum sebagai penafsir adalah Dewan Pers. Lembaga inilah yang memiliki kewenangan di depan hukum untuk menyatakan apakah Iqbal memenuhi unsur sebagai jurnalis dan mendapatkan perlindungan UU Pers.

Tidak bisa dipungkiri, media alternatif, termasuk pers mahasiswa bertumbuh karena adanya kebuntuan di media mainstrem. Media massa dan jurnalis yang terverifikasi di Dewan Pers pun masih saja mencabuli prinsip-prinsip jurnalistik. Akibatnya, publik tidak mendapatkan informasi yang baik. Di banyak situasi, media alternatif dan pers mahasiswa muncul sebagai solusi.

Tentu AJI Surabaya berharap Dewan Pers terlibat dalam kasus kekerasan yang dialami terhadap jurnalis pers mahasiswa, Muhammad Iqbal. Ini pembuktian pembelaan Dewan Pers terhadap kemerdekaan pers yang sejati.

Miftah Faridl
Ketua AJI Surabaya