Tragedi Bom, Sosial Media, dan Etika Penyiaran Gambar

Terkadang kita ingin bermegah di media sosial dengan mengunggah sesuatu sebagai tanda kita yang pertama, kita yang peduli, atau kita yang tak ketinggalan informasi. Hanya saja, betulkah kita bijak untuk kasus bom?

Diskusi Capturing Injustices Through the Lens,  World Press Freedom Day Jakarta, 1-4 Mei 2017 di Jakarta Convention Center. Foto: Prasto Wardoyo.
Diskusi Capturing Injustices Through the Lens, World Press Freedom Day Jakarta, 1-4 Mei 2017 di Jakarta Convention Center. Foto: Prasto Wardoyo.

Rabu, 24 Mei 2017 bom meledak di Kampung Melayu Jakarta. Dalam peristiwa itu tercatat tiga anggota Polri meninggal dunia dan 2 orang yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri tewas dalam kondisi tubuh tak utuh.

Tak lama setelah ledakan bom yang juga melukai sedikitnya lima anggota Polri dan dan lima orang warga yang kebetulan berada di dekat lokasi ledakan Terminal Kampung Melayu, sejumlah gambar korban atau potongan tubuh manusia akibat ledakan ledakan, muncul di media sosial.

Tayangnya gambar-gambar ini mengundang reaksi dari kalangan jurnalis dengan membuat ajakan, himbauan dan bahkan “ancaman” di media sosial. Iman D, Nugroho, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia menuliskan: gak usah sok gagah posting foto mengerikan bom bunuh diri Kampung Melayu ya. Ingat perasaan keluarga korban dan jaga agar tidak ada kepanikan.  #PrayForKampungMelayu.

Ahmad Zamroni Fauzan jurnalis radio menuliskan di dinding Facebooknya: untungnya teman medsos saya sejauh ini belum ada yang share gambar korban bom Kampung Melayu. Kalau ada, pasti langsung saya delcon atau unfriend, hehe

#DoaUntukKorbanTerorisme
#KamiTidakTakutTeror
#StopPostingKontenSadis

Merebaknya gambar-gambar yang tak elok di ruang media sosial, menjadi salah satu tema diskusi dalam acara World Press Freedom Day Jakarta yang digelar pada 1-4 Mei 2017 di Jakarta Convention Center. Dalam diskusi bertajuk Capturing Injustices Through the Lens, Nana Kofi Acquah, seorang jurnalis foto asal Ghana yang memenangi sejumlah penghargaan mengakui, bahwa sosial media merupakan ancaman ketika dipenuhi oleh gambar-gambar yang tak sesuai dengan kaidah jurnalistik. Menurutnya justru di situlah tantangan bagi seorang jurnalis agar mau memenuhi sosial media dengan hasil jepretan yang sesuai dengan etik jurnalistik.

Di sisi lain, terkait dengan luasnya areal peliputan dan sebaran para citizen repoter, Ng Swan Ti dari Pannafoto Institute melihatnya bahwa kehadiran citizen reporter justru melengkapi karena sebagai pemberi informasi awal atas terjadinya sebuah peristiwa. Tentu saja, jurnalis foto yang kehadirannya bisa saja dari info dari sosial media, hasil bidikannya memiliki kedalaman.

Kemal Jufri (kanan), foto jurnalis  dari Indonesia menyampaikan etika mengunggah foto di media sosial. Foto: Prasto Wardoyo
Kemal Jufri (kanan), foto jurnalis dari Indonesia menyampaikan etika mengunggah foto di media sosial. Foto: Prasto Wardoyo

Hal senada disampaikan Kemal Jufri, foto jurnalis  dari Indonesia. Kepekaan dan pemahaman atas etik dari seorang fotografer professional dia yakini akan tetap bisa mendapat tempat di tengah publik sehingga kehadiran citizen reporter dengan unggahan foto-foto semacam itu bukanlah ancaman.

Selain pentingnya memerhatikan nilai universal, nilai yang berkembang dan dianut masyarakat setempat atau lokal perlu juga dipahami agar hasil foto yang disiarkan tidak menimbulkan gesekan. Demikian disampaikan oleh Laura Boushnak, fotografer dan salah seorang pendiri Rawiya yang bermarkas di Dubai. Misalnya foto individu berpakaian tertentu ketika hendak dipublis, harus dipastikan tak menimbulkan masalah, meski foto serupa jika di tempat lain tak menimbulkan persoalan (Prasto Wardoyo).