Kebebasan pers dunia sudah diperjuangkan sejak lama, seiring dengan perjuangan penegakan HAM. Kebebasan untuk mendapatkan informasi dan menyebarkan termasuk hak asasi manusia. The United Nations Generap Assembly secara resmi mendeklarasikan perjuangan kebebasan pers pada 3 Mei 1991 yang kemudian kita sebut sebagai World Press Freedom Day (WPFD).
Setiap tahun, WPFD diperingati sekaligus menjadi introspeksi untuk melihat sejauh mana kebebasan pers sudah dijalankan. Soal kebebasan pers ini disampaikan Kathryn Roja Raymundo, Alerts Officer of Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) dalam sesi Introductions and Human Rights discussion on local situations in South East/Asia hari ke-2 WPFD 2017 di Jakarta Convention Center, 2 Mei 2017. Dalam catatan SEAPA, dari 10 negara di Asia Tenggara, Timor Leste menempati urutan teratas dalam peringkat negara dalam kemerdekaan pers.
Kathryn menyampaikan bahwa kekerasan terhadap jurnalis, baik fisik maupun dalam bentuk ancaman yang menjadikan kerja jurnalistik terganggu disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya ketika perusaan pers berafiliasi dengan kepentingan tertentu bahkan perusahaan pers dimiliki oleh politisi dan secara sadar dipergunakan untuk agenda politiknya. Produk jurnalistiknya tak pelak merupakan cerminan dari kepentingan sang pemilik. Akibatnya, jurnalis yang bekerja di lapangan, diposisikan sebagai pihak yang menyuarakan kepentingan pemilik media oleh pihak yang berseberangan atau pihak yang merasa dirugikan sehingga mengundang potensi kekerasan terhadap jurnalis.
Apa yang diungkapkan oleh Kathryn, diamini oleh sejumlah peserta diskusi yang hampir seluruhnya beprofesi sebagai jurnalis. Kasus pengusiran terhadap reporter dan kamerawan dari sejumlah stasiun televisi saat melakukan peliputan unjuk rasa yang dilakukan massa dengan identitas keagamaan tertentu menjelang pilkada DKI sebagai contoh nyata.
“Etik dan profesionalis adalah langkah paling baik diri dalam melakukan peliputan,” demikian Kathryn menyampaikan solusi menghadapi potensi kekerasan terhadap jurnalis. Menjalankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan profesionalisme merupakan kunci untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas sekaligus membentengi jurnalis dari potensi kekerasan.
Jurnalis yang beretika dan profesional akan lebih diterima masyarakat karena menyampaikan berita yang berkualitas dan tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu yang berpontesi memosisikan jurnalis untuk ditekan.
Etik dan profesionalisme merupakan benteng individual dalam menjalankan profesi jurnalis, tanpa harus mengandalkan orang lain atau pihak eksternal. Apabila etik dan profesionalisme dijalankan maka jurnalis akan bisa berdiri tegak menghadapi pihak yang mencoba memperkarakan saat karya jurnalistiknya dilepas ke ruang publik guna memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi (Prasto Wardoyo).