Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mendesak agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menghentikan kebiasaannya memerangkatkan wartawan ke luar negeri. Kebiasaan pemkot ini kami nilai sebagai bentuk suap dan atau grativikasi bermodus studi banding.
“Cara pemkot memperlakukan wartawan kami anggap tidak berpotensi mengancam independensi wartawan. Apalagi, dana pelesiran ini diambil dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Harusnya, APBD digunakan untuk program kerakyatan bukan gratifikasi kepada wartawan,” kata Prasto Wardoyo, Ketua AJI Surabaya, Jumat (21/8/2015).
Dalam waktu dekat, Pemkot Surabaya akan memberangkatkan wartawan lokal ke Jepang. Lawatan ini adalah program tahunan pemkot. Di tahun-tahun sebelumnya, pemkot rajin memberangkatkan rombongan wartawan ke China, Hongkong, Malaysia sampai Singapura.Kegiatan semacam ini menghabiskan dana ratusan juta rupiah.”Kami tidak mengerti apa urgensi pemkot sampai harus mengirim wartawan dalam jumlah besar ke luar negeri. Jelas kegiatan ini bertentangan dengan kepentingan publik karena APBD untuk rakyat bukan wartawan,” kritik Prasto.
Profesi wartawan adalah untuk kepentingan publik. Jadi ketika pemkot melestarikan kebiasaannya memberangkatkan wartawan ke luar negeri, maka wartawan menghadapi konflik kepentingan. “Kegiatan ini malah merusak profesionalisme wartawan dan semakin menguatkan rusaknya etika jurnalistik,” imbuhnya.
Pada pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) berbunyi: Wartawan Indonesia tidak boleh menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. AJI Surabaya menafsirkan suap dan gratifikasi adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. “Sudah seharusnya Pemkot Surabaya ikut mendukung penegakan kode etik jurnalistik. Pelesiran ini kami nilai masuk kategori suap dan penyalahgunaan profesi,” tandas reporter Reuter TV itu.
Menurut Prasto, Pemkot tidak bisa berdalih kegiatan ini untuk meningkatkan profesionalisme wartawan. Karena tugas peningkatan kapasitas wartawan menjadi kewajiban media massa tempat wartawan bekerja, Dewan Pers sampai kampus. “Untuk mendukung profesionalisme wartawan, pemkot hanya perlu lakukan satu hal.
Yaitu, hentikan memberi suap, gratifikasi atau apa pun yang bisa merusak independensi wartawan,” cetus Prasto, “Kami mendesak agar Pemkot Surabaya membatalkan rencana plesiran bagi wartawan ke Jepang pada September ini. Desakan yang sama agar pemkot menghapus kegiatan semacam ini dari APBD,” tandasnya.
AJI Surabaya juga menyerukan kepada pimpinan media massa di Surabaya agar menolak rencana kunjungan wartawannya ke Jepang, mengingat supremasi KEJ bisa luntur begitu pimpinan media massa mengirim wartawannya ke kegiatan ini.
Bagi para sahabat jurnalis, AJI Surabaya hendaknya menolak ajakan berangkat pelesiran yang didanai APBD. Ke depan, wartawanlah yang menjadi benteng terakhir yang bisa menjaga KEJ. “Kami meyakini kegiatan pelesiran pemkot ini adalah penyakit yang merusak kode etik kita,” kata Prasto.
Terakhir, AJI Surabaya meminta Ibu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk membatalkan kegiatan ini, seperti halnya Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang mencoret dan membatalkan kegiatan pelesiran ke Jerman bagi wartawan. (rudy hartono)