Indonesia Tak Mungkin Terpasung Lockdown (1)

Oleh : Lely Yuana (Jurnalis timesindonesia.co.id, anggota AJI Surabaya)

Apa yang manusia butuhkan saat panik. Logika dan akal sehat. Pandemi global Corona Virus Disease atau Covid-19 membuat seantero jagat seperti kerumunan lebah yang diobrak sarangnya.

Kepanikan itu di depan mata. Tak hanya Nusantara, bahkan negara adikuasa Amerika Serikat juga dibuat kewalahan menghadapi serangan virus Sars CoV-2 dari Wuhan, Tiongkok ini.

Ribuan orang meregang nyawa. Ratusan juta lain dicekam ketakutan. Status Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) hingga paling fatal positif Covid-19 seolah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Tak ada cara lain selain berpikir jernih. Tak ada yang bisa melihat wujud Corona selain para ilmuwan dan ahli yang harus menelitinya melalui lubang-lubang mikroskop elektron. Sebab semua orang bukan ilmuwan dan tidak ada yang memiliki mikroskop di rumahnya selain ilmuwan.

Mengapa berpikir jernih itu tak mudah. Karena kita terlalu sibuk dibombardir informasi mengerikan tentang ancaman kematian. Itu pertama. Kedua, kita terlalu percaya hal gaib. Virus Corona bukan hal gaib.

Lantas langkah apa yang harus kita lakukan? Tentu kita harus mengikuti saran para ahli dan para ilmuwan. Sejauh ini mereka menemukan satu cara efektif menekan angka penyebaran dengan menerapkan beberapa aturan. Ketat dan berat memang.

Sebut saja tiap beberapa menit misalnya harus mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer dan menerapkan physical distancing (jaga jarak fisik) agar tidak terciprat cairan yang mungkin keluar dari individu tersuspek. Jangan lupa pakai masker untuk mengantisipasi saat batuk. Cukup itu sementara. Saat vaksin dan obat belum ditemukan.

Para ahli dan tenaga medis sedang bekerja keras. Kita dukung dan hormati pengorbanan mereka. Hanya diam di rumah menyelamatkan diri dan diam di rumah berarti menyelamatkan orang lain. Jaga imunitas dan jangan stres.

Negara lain bahkan melakukan langkah ekstrem lockdown atau isolasi wilayah. Indonesia cukup isolasi mandiri. Artinya, tidak ada kegiatan di luar rumah selama tidak diperlukan. Apalagi jika Anda merasa kurang enak badan.

Toko-toko masih boleh buka sebagai penyedia bahan pangan. Kecuali tempat nongkrong dan hiburan malam. Closed at all. Tutup semua. Sebab potensi berdesakan dan melanggar prinsip social distancing rentan terjadi. Sekolah dan kantor libur demi keselamatan bersama.

Sedikit bercerita. Sebagai seorang jurnalis yang kebetulan bertugas memantau perkembangan kasus ini sejak awal masuk Indonesia dan Jawa Timur khususnya, terus terang saya sempat depresi.

Angka-angka kematian, barak isolasi, itu tepat di depan mata saya. Belum lagi sempat diancam gara-gara memberikan fakta tentang rumah sakit yang menolak salah satu kawan jurnalis karena kehabisan kuota.

Belum lagi kantor minta update berita dengan cepat. Belum lagi melihat wajah tegang dan lesu para pejabat pemerintahan yang akhirnya harus realokasi dana APBD untuk penanganan wabah ini. Mungkin 24 jam mereka harus berpikir keras. Tak ada pembangunan infrastruktur tahun ini. Tak ada perjalanan dinas. Dunia serasa paceklik. Belum lagi bagaimana keselamatan saya.

Sementara di lapisan masyarakat bawah, stok masker maupun hand sanitizer hampir tak bisa mereka jumpai. Jika pulang dari toko atau apotek, nampak wajah hampa dan pasrah. Kalaupun ada, harga masker naik gila. Satu bungkus isi 5 pc lebih dari harga dua kilogram gula pasir.

Saya berpikir keras. Sebenarnya apa-apaan ini? Bahkan tiap hari tubuh saya pada akhirnya harus disemprot disinfektan. Karena rentan bersinggungan dengan narasumber serta berbagai kegiatan di luar.

Pada akhirnya saya tak mau terpuruk dalam rasa bersalah dan depresi. Kepanikan itu akan hilang kalau kita tahu siapa musuh kita sebenarnya. Jangan gelisah, karena ilmu pengetahuan adalah jawaban.

Pada suatu ketika. Hampir sepuluh orang antri di depan saya. Mereka antri berbaris menunggu giliran melewati bilik disinfektan. Beberapa memakai masker. Dari kain atau masker sensi. Lainnya membiarkan mulutnya terbuka dan memperlihatkan bibir kehitaman dan kemerahan. Petugas dengan ketat mengawasi, memastikan tak ada yang terlewat.

Mereka yang masih memiliki semangat hidup tinggi. Laju tank anti huru hara kepolisian beriringan. Sama. Mereka membawa tangki penyemprot disinfektan di sepanjang jalan protokol.

Kini giliran saya masuk bilik.

“Silahkan,” kata petugas dengan helm warna putih dan rompi hijau itu ramah.

Tubuh saya berputar-putar. Agar merata semua cairan pembunuh virus dan bakteri ini pada tiap sela baju-baju atau pikiran. Matahari bersinar hangat. Tahap pertama terlewati sudah.

Lorong pendek itu bukan kali pertama lorong saya lewati. Sehingga selepas semprotan demi semprotan tipis yang membasahi wajah saya itu, mencari tempat duduk adalah alternatif selanjutnya.

Bangku duduk yang kini disilang-silang tiap jarak satu bangku. Jaga jarak aman. Suhu tubuh juga diperiksa. Sekitar 36 derajat celcius.

Sebelum masuk, ada dua wastafel dan sabun cair. Sekarang jadi rutinitas wajib. Membersihkan tangan dari bakteri maupun virus. Airnya mengalir sesuai standar WHO.

Begitulah, kami tetap beraktivitas di bawah pengawasan dan kesadaran menjaga diri. Tak ada lockdown di negara kami. Biarpun grafik terjangkit terus naik. Sebagai negara dengan tingkat penduduk yang tinggi serta bonus demografi dengan ledakan usia muda, memang langkah lockdown terbilang sebuah keputusan berani.

Pasalnya, negara kami belum mampu mengcover semua kebutuhan pangan dan lainnya kepada tiap rumah tangga jika kebijakan itu diterapkan. Belum lagi harus mengalokasikan dana secara radikal untuk militer sebagai garda terdepan dalam isolasi wilayah. Demikian kiranya saya mengutip pandangan seorang ekonom.

Jadi, kata lockdown itu tidak boleh sembarangan digunakan. Atau dibuat judul berita sementara tak ada instruksi demikian dari pusat. Sebab efeknya luar biasa. Bisa melumpuhkan perekonomian nasional.

Masyarakat makin panik tidak bisa berpikir jernih. Akal sehat ganti mantra-mantra. Ini berbahaya. Doa boleh tapi menjaga diri juga harus. Sebab seperti kata Carl Sagan bagaimana kita ingin lolos dari akibat tersuram suatu ledakan penyakit dan perbaikan standar kehidupan orang-orang yang paling miskin, tanpa sains dan teknologi?

Kita bisa memberi antibiotik pada penderita kolera tiap dua belas jam sekali atau kita hanya ingin mendoakannya? Bila kita ingin lolos dari ancaman pandemi ini, maka memahami ilmunya tentu sangat penting.

Bagaimana pertama kali Corona ditemukan? Jauh sebelum ini. Coronavirus ditemukan pada 1960-an. Virus yang paling awal ditemukan adalah virus bronkitis infeksius pada ayam dan dua virus dari rongga hidung manusia dengan flu biasa yang kemudian diberi nama human coronavirus 229E dan human coronavirus OC43.

Sejak saat itu, anggota coronavirus yang lain mulai diidentifikasi, termasuk SARS-CoV pada 2003, HCoV NL63 pada 2004, HKU1 pada 2005, MERS-CoV (sebelumnya dikenal sebagai 2012-nCoV) pada 2012, dan SARS-CoV-2 (sebelumnya dikenal sebagai 2019-nCoV) pada 2019. Sebagian besar dari virus-virus ini terkait dengan infeksi saluran pernapasan yang serius.

Penularan koronavirus dari manusia ke manusia diperkirakan terjadi melalui kontak langsung dalam jarak dekat via tetesan kecil atau percikan (droplet) dari saluran pernapasan yang dihasilkan penderita saat bersin dan batuk.

Jadi, bagaimana cerita ini akan selesai? Para ahli mengatakan satu kemungkinan adalah bahwa kasus penyakit ini akan mulai berkurang ketika cukup banyak orang mengembangkan kekebalan, baik melalui infeksi atau vaksinasi. Skenario lain yang mungkin adalah bahwa virus akan terus beredar dan memantapkan dirinya sebagai virus pernapasan umum. Mungkin skenario ini yang diterapkan pula oleh pemerintah di tengah keterbatasan anggaran.

Maka, cara agar tidak terinfeksi antara lain mengikuti imbauan pemerintah. Stay at home. Bersabarlah. Karena langkah ini juga diterapkan di belahan dunia lainnya.

Lalu sampai kapan pengorbanan ini berlangsung? Sampai virus itu mati dalam masa inkubasi. Oleh sebab itu pemerintah berjuang keras mengguyur jalanan dan sudut-sudut kota dengan cairan disinfektan.

Masa inkubasi virus menurut para ahli yaitu 14-28 hari tergantung medianya. Baik di logam, kain, kayu dan tubuh manusia. Kalian bisa surfing di internet. Pelajari itu sebagai bahan antisipasi.

Saat keluar jika tak punya masker, gunakan kain atau sapu tangan yang dicuci tiap hari. Bawa sabun dalam botol jika sewaktu-waktu kehabisan sabun saat menggunakan wastafel di luar ruangan. Tak boleh lupa, tingkatkan imunitas tubuh dan berbahagialah di rumah. Bahagiakan dirimu di kamar. Selfie, baca buku, mendengarkan musik, skype, atau berkarya positif. Buat senyaman mungkin.Bagi kalian yang mampu dengan segala fasilitas itu.

Sebab tak ada lockdown. Negara kita tak mungkin terpasung lockdown. Masyarakat harus memiliki kesadaran sendiri. Kita tidak bisa bergantung pada negara untuk tetap makan tanpa bekerja. Namun beberapa anggaran dan kebijakan telah disiapkan.

Penghapusan pajak kendaraan, kebijakan kelonggaran masa bayar angsuran bank, sampai komitmen ketersediaan bahan pangan atau sembako. Beberapa perusahaan bahkan menggalang dana bagi karyawan yang dirumahkan atau tukang ojek yang pendapatannya menurun tajam. Belum lagi kartu sembako bagi warga miskin. Praktiknya? Tentu kita berharap besar pada pemerintah. Bukan hanya pada para filantropis yang sudah bahu membahu menggelontorkan masker dan hand sanitizer baik bagi masyarakat maupun tim medis dan para medis.

Jika negara mengambil kebijakan isolasi mandiri dan physical distancing bagi warga tapi pekerja dirumahkan dan pasar sepi, maka bagaimana nasib rakyat kecil? Sementara hanya karantina jalan satu-satunya memutus rantai penyebaran virus dan membersihkan udara°untuk sementara waktu.

Negara kita menyiapkan skema. Indonesia antara lain mengucurkan total anggaran hingga Rp 158,2 triliun dalam menghadapi dampak virus Corona. Stimulus tersebut antara lain mencakup tahap pertama sebesar Rp 10,3 triliun, stimulus kedua Rp 22,9 triliun dan lainnya.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, dalam konferensi pers online bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Kamis, 26 Maret 2020 lalu mengatakan jika pemerintah terus mendampingi komponen ekonomi kita agar tetap mampu bangkit dan menyelesaikan masalah ini.*

Dia merinci, stimulus pertama berjumlah Rp 10,3 triliun. Stimulus ini diluncurkan pada pada 25 Februari 2020, beberapa hari sebelum kasus virus corona pertama muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020. Saat itu, stimulus fokus diberikan untuk pariwisata dan delapan sektor lain yang terdampak.

Pada 13 Maret 2020, pemerintah kembali meluncurkan stimulus kedua sebesar Rp 22,9 triliun. Stimulus ini diberikan di sektor fiskal seperti relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) karyawan industri manufaktur, sampai percepatan lalu lintas barang impor.

Pemerintah juga telah melonggarkan defisit anggaran sebesar Rp 125 triliun. Jumlah ini sebesar 0,8 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang sebesar US$ 1 triliun atau Rp 16.000 triliun. Maka, jumlah totalnya mencapai Rp 158,2 triliun.

Alokasi anggaran Rp 158,2 triliun ini baru mencakup 0,98 atau hampir 1 persen dari PDB Indonesia. Undang-Undang Keuangan Negara memberi batasan defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB, atau sebesar Rp 480 triliun.

Di tengah alokasi anggaran untuk virus Corona yang terus bertambah, maka Badan Anggaran (Banggar) DPR pun telah mengusulkan melonggarkan defisit dari 3 persen menjadi 5 persen. Caranya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu, untuk merevisi UU Keuangan Negara.

Pemerintah pun tengah bersiap memperlebar defisit anggaran ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah kini tidak memaksakan diri untuk menjaga batas defisit anggaran sesuai dengan UU Keuangan Negara.

Sebab fokus saat ini adalah kesehatan rakyat, mengurangi sekecil mungkin risiko bagi masyarakat dan dunia usaha dari kebangkrutan.

Pemerintah juga harus memonitor lebih ketat bahwa penerima insentif atau bantuan karena virus Corona ini sesuai dengan target yang ditetapkan. Pemerintah bisa menggunakan basis data yang sudah ada untuk sementara waktu.

Mulai data-data penerima kartu sembako, penerima program keluarga harapan (PKH), dan bantuan sosial (bansos) lainnya.

Jangan sampai pemerintah sibuk memperbaiki data terlebih dahulu sehingga implementasi program bansos terganggu. Untuk proses pengawasan, pemerintah bisa bekerja sama dengan perbankan karena penyalurannya kini mayoritas dilakukan secara digital.*

Tentu rakyat berharap banyak agar amunisi kebijakan lanjutan dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 segera terealisasi. Bukan hanya janji. Rakyat kecil dengan pendapatan minim, mungkin tak akan bisa menikmati challenge until tomorrow di Instagram untuk menghibur diri mengusir rasa bosan. Tapi mereka butuh kepastian melanjutkan hidup. Mengisi perut selama masa karantina. Kepastian itu meredam kepanikan. Lalu perlahan masuki mereka dengan pemahaman ilmu pengetahuan. Rakyat kecil akan tenang diam di rumah. Seperti kata Ibnu Sina, kepanikan setengah dari penyakit, ketenangan setengah dari obat, dan kesabaran setengah dari kesembuhan.

Referensi
*) Tempo.co : Hadapi Corona, Pemerintah Sudah Gelontorkan Anggaran Rp 158 T
*) CNN Indonesia : Hati-hati, Dana Penanganan Wabah Corona Rawan Korupsi

Post Comment