RUU Omnibus Law mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi karena memuat campur tangan pemerintah terhadap pers. Intervensi pemerintah bentuknya melalui Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan semangat kebebasan pers dalam Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. UU Pers dibuat untuk mengoreksi kekuasaan Orde Baru yang mengekang kebebasan pers. Tak ada lagi pembredelan.
Komunitas pers tanpa wakil dari pemerintah membentuk Dewan Pers yang menangani sengketa pers dan menjalankan UU Pers. Dengan begitu, Peraturan Pemerintah tidak diperlukan.
Peraturan Pemerintah berbahaya karena bisa membungkam pers. Berpotensi terjadi sensor dan pembredelan terhadap pers yang melontarkan kritik terhadap pemerintah.
Dalam RUU Omnibus Law tentang Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu di paragraf lima mengubah dua pasal UU Pers. Bunyi perubahan pada pasal 11, yakni pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. UU sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 18 memperberat sanksi bagi perusahaan pers yang tidak menghormati norma agama, kesusilaan, asas praduga tak bersalah, menolak melayani hak jawab dan hak koreksi, dan konten pemberitaan yang melanggar aturan. Pemerintah mengatur denda atas pelanggaran dari Rp 500 juta naik menjadi Rp 2 miliar.
Ayat 4 bunyinya Ketentuan mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal-pasal itu membuat pemerintah seenaknya memberikan sanksi administratif kepada pers yang dianggap bermasalah. Tekanan buat perusahaan pers bentuknya denda yang diperbesar untuk yang tidak menghormati norma agama, kesusilaan, dan asas praduga tak bersalah. Pasal ini rawan menjadi pasal karet sama seperti ancaman hukuman pada pencemaran nama baik.
AJI mempertanyakan motif pemerintah memasukkan dua pasal tersebut dalam Omnibus Law. Pemerintah tak melibatkan organisasi profesi jurnalis untuk membahas dua pasal itu dan terkesan tidak transparan alias tidak melibatkan publik.
Omnibus Law Mematikan Jurnalisme Warga dan Media Alternatif
RUU Omnibus Law mewajibkan perusahaan pers mendaftarkan diri sebagai perusahaan pers berbadan hukum. Campur tangan pemerintah ini mengancam keberadaan jurnalisme warga, media komunitas, startup media, pers mahasiswa. Bila penguasa bertindak otoriter, maka berpotensi untuk membungkam kritik media alternatif yang tidak berbadan hukum seperti media arus utama. Keberadaan media-media alternatif itu diperlukan untuk mendukung iklim demokrasi di Indonesia.
Situasi Kebebasan Pers Indonesia Rendah
AJI mencatat tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2019. Setidaknya ada 53 kasus kekerasan terhadap wartawan. Kasus kekerasan itu di antaranya dialkukan pendukung Prabowo-Sandiaga yang kecewa terhadap hasil pemilihan presiden pada 21-22 Mei. Kasus lainnya adalah pemukulan, pemaksaan wartawan menghapus foto dan video, pembakaran motor, pemukulan wartawan oleh polisi. Pelaku kekerasan tak pernah diproses setelah dilaporkan dengan alasan polisi sulit menemukan pelakunya. Penanganan kasus kekerasan jarang berakhir di pengadilan.
Omnibus Law Menyengsarakan Buruh
Hak-hak buruh yang terancam hilang yakni upah minimum, hilangnya pesangon, outsourcing bebas diterapkan di berbagai bisnis. Ada kekhawatiran muncul aturan kerja kontrak tanpa batasan waktu, buruh mudah di-PHK, jaminan sosial terancam hilang, cuti haid dan melahirkan dihilangkan, penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar.
Jurnalis juga buruh. Omnibus Law ini akan semakin memperberat situasi jurnalis dalam memperjuangkan kesejahteraan.
Sumber: Tempo, Kompas, Aliansi Jurnalis Independen
Penulis: Shinta Maharani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Bekerja sebagai koresponden Tempo.