Keberagaman Seksualitas dan Media: Memperbanyak Perjumpaan (Pengumuman Fellowship Liputan)

Cara pandang masyarakat Indonesia terhadap keberagaman seksualitas terkungkung dalam stereotip. Pola pikirnya terkotak-kotak. Hal tersebut turut menyuburkan diskriminasi terhadap warga dan komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseksual (LGBTI).

Dalam situasi masyarakat yang dipenuhi kebencian inilah, pengkaji keberagaman seksualitas dan agama, Khanis Suvianita, mendorong media meninggalkan perspektif lama dan membuka pada pengalaman-pengalaman keberagaman seksualitas yang hidup secara nyata di sekitar yang, bahkan, sudah ada dan mengakar dalam tradisi jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebab, menurut Khanis, spektrum seksualitas dan gender itu cair dan mengalir, fleksibel, tidak selalu tetap.

“Omong kosong (manusia) hanya dua secara seks dan gender,” papar Khanis, dosen Universitas Surabaya (UBAYA) yang sedang menempuh program doktoralnya di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (30/8) di ruang pelatihan bilangan Gayungan, Surabaya.

Perjumpaan Media dengan Komunitas LGBTI

Khanis menantang 25 jurnalis peserta Workshop & Fellowship Meliput Keberagaman Seksualitas di Jawa Timur dengan menggunakan perspektif yang baru, setara dan adil untuk menghindari pemberitaan-pemberitaan yang justru melanggengkan stereotip dan kebencian terhadap LGBTI. Mereka berasal dari media cetak, online, radio, televisi dan foto jurnalistik.

Workshop dan coaching fellowship ini digelar pada 30 Agustus – 1 September 2019 di Surabaya oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Surabaya). Perwakilan komunitas keberagaman seksualitas Surabaya yang dihadirkan dalam workshop sebagai ahli adalah Dede Oetomo. Sementara Sam (GAYa NUSANTARA) dan Feby Damayanti dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) menyampaikan testimoni. Mereka berdialog dengan jurnalis dari Madura, Trenggalek, Madiun, Malang, Jombang, Jember, Banyuwangi, Surabaya dan sekitarnya demi membangun ruang-ruang yang lebih ramah dan menghargai hak-hak warga LGBTI.

Berdasarkan pengalaman panjang bersentuhan dengan media-media di Indonesia, Dede Oetomo yang mendirikan GAYa NUSANTARA, 32 tahun yang lalu, menerbitkan optimisme di kalangan peserta workshop bahwa tidak selalu media menyudutkan warga maupun komunitas LGBTI. Gagasan dan pengalaman terkait keberagaman seksualitas itu terus berkembang. Sehingga, menurut pantauan Dede Oetomo, dalam memberitakan isu ini media pun terus berproses.

Ia sendiri tidak sedikit punya pengalaman tentang keramahan media-media di Indonesia terhadap keberagaman seksual. Untuk itu, upaya-upaya mempertemukan media dengan komunitas LGBTI, sebagaimana dilakukan SEJUK dan AJI Surabaya, bagi Dede, sangat penting untuk sering dilakukan.

Ia pun kembali mengingatkan insan media pada relevansi jurnalisme empati dalam memberitakan warga dan komunitas yang terdiskriminasi, seperti Syiah, Ahmadiyah juga LGBTI. Pendekatan ini membawa para jurnalis agar mempertimbangkan sisi kemanusiaan terkait pengaruh dan dampak yang sangat besar dari pemberitaan bagi keberadaan kelompok yang selama ini terpinggirkan.

“Bayangkan kalau anda sendiri yang diliput,” tuturnya.

Karena itu penggunaan dan pemilihan diksi ataupun istilah harus menjadi perhatian media. Misalnya, LGBT selalu diasosiasikan sebagai hanya gay dan homoseksual, sementara di dalamnya ada unsur lainnya seperti biseksual, transgender yang meliputi transwoman dan transman, interseksual dan seterusnya. Karena itu penggunaan istilah “pernikahan sesama jenis” menjadi tidak tepat. Sebab, dalam keberagaman seksualitas itu meliputi LGBTI dan seterusnya sehingga tuntutan pemenuhan hak warga untuk pernikahan di banyak negara tidak hanya berlaku bagi homoseksual saja.

“Gunakan saja kesetaraan pernikahan, dari kata marriage equality,” saran Dede.

Penggunaan “semburit” bisa menggantikan sodomi. Berasal dari kata dasar “burit” yang sebenarnya lazim dipakai seperti pada penyebutan buritan kapal, lanjut Dede, semburit jauh lebih baik untuk menghindari kata sodomi yang diasosiasikan dengan kaum Sodom dan ada kaitannya dengan dosa.

Sementara Feby Damayanti mengajak media untuk lebih sering lagi mengakses organisasi dan komunitas waria di Jawa Timur seperti Perwakos, tempatnya beraktivitas dalam pencegahan HIV/AIDS, yang mempunyai jaringan di Jawa Timur bahkan nasional. Begitupun sebaliknya, menurut Feby, waria dan LGBT lainnya pelan-pelan sudah mulai sadar akan pentingnya media untuk menyampaikan kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan mereka, termasuk untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

“Melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan SEJUK, berharap ada akses bagi transgender ke media,” kata Feby.

Selain Khanis dan Dede Oetomo, narasumber workshop ini adalah Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting yang juga mantan host Agama & Masyarakat di KBR 68H dan TEMPO TV Saidiman Ahmad, Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra dan editor The Jakarta Post sekaligus Direktur SEJUK Ahmad “Alex” Junaidi. Jurnalis yang terlibat dalam kegiatan ini tidak saja aktif di AJI Surabaya, AJI Malang dan AJI Jember, mereka juga ada yang aktif di Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Jawa Timur dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Timur.

Foto bersama usai coaching Fellowship Meliput Isu Keberagaman Seksualitas di Jawa Timur

Peraih Beasiswa Liputan

Ikhtiar media atau jurnalis agar lebih dalam menempuh perjumpaan dengan komunitas LGBTI di antaranya dengan dirangsang beasiswa meliput keberagaman seksualitas. Untuk itu SEJUK-AJI Surabaya menggelar fellowship dengan total 70 juta rupiah untuk sepuluh jurnalis terpilih.

Setelah 25 peserta terlibat dalam dialog interaktif seputar gagasan dan data maupun fakta empirik terkait keberagaman seksualitas serta bagaimana memberitakannya, mereka kemudian mempresentasikan proposal liputan yang diajukan untuk meraih Fellowship Meliput Keberagaman Seksualitas di Jawa Timur.

Proses coaching proposal dilakukan oleh Khanis Suvianita, Ahmad Junaidi dan Ketua AJI Surabaya yang juga jurnalis CNN Indonesia TV Miftah Faridl bersama editor TEMPO Kukuh S. Wibowo. Selanjutnya, para peraih fellowship akan mendapat asistensi peliputan dari Khanis, Alex Junaidi dan Faridl untuk menghasilkan pemberitaan yang menyuarakan mereka yang selama ini terbungkam.

Berikut adalah 10 peraih Fellowship Meliput Keberagaman Seksualitas di Jawa Timur:

1. Anik Hasanah, RRI (Surabaya)
2. Via Irmar, SBO TV (Surabaya)
3. Rosy Dewi AS, KBR (Jember)
4. Fitria Nur Madia, IDN Times (Surabaya)
5. Lely Yuana, TIMES Indonesia (Malang)
6. Fully Syafi, Beritagar (Surabaya)
7. Mohammad Ghozi, Media Indonesia (Madura)
8. Mohammad Khairul Umam, Kabar Madura (Madura)
9. Andika Ismawan, Lensa Indonesia (Surabaya)
10. Muhammad Rizky, Gatra (Surabaya)

 

Berita diambil dari SEJUK

Post Comment