Intimidasi disertai pemaksaan untuk menghapus berkas (file) video dan foto jurnalis oleh aparat kepolisian kembali terjadi di Surabaya. Kali ini terjadi terhadap (setidaknya) dua jurnalis yang bertugas meliput pertandingan Persebaya vs Arema di final leg 1 Piala Presiden 2019 di stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Selasa (9/4/2019).
Berkas foto dan video milik Anggi Widya Permani (jurnalis Suara Surabaya) dan Fajar Mujianto (jurnalis jatimnow.com) dihapus paksa oleh sejumlah anggota kepolisian. Hasil liputan itu merupakan foto dan video saat polisi melakukan pengamanan suporter Persebaya, terutama yang tidak bertiket yang berada di luar stadion.
Dari catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, ulah aparat keamanan ini bukan kali pertama terjadi. Setidaknya 3 (kali) aparat kepolisian bertindak intimidatif dengan memaksa penghapusan file-file kerja jurnalis. Pertama, perampasan kamera dan penghapusan hasil foto Tridiana, fotografer Harian Bhirawa oleh anggota Polrestabes Surabaya saat bentrokan pendemo dengan polisi di depan kantor KPUD Jatim pada 7 Agustus 2014.
Kedua, pengeroyokan sejumlah jurnalis saat meliput kericuhan antara polisi dan kelompok Bonek yang menggelar konvoi pada 10 November 2016. Bukan hanya dianiaya, para polisi juga merusak dan merampas perlengkapan kerja jurnalis. Pelaku berusaha menghilangkan gambar kericuhan yang sempat direkam jurnalis yang meliput peristiwa tersebut.
Adapun kronologi peristiwa ketiga, sesuai kesaksian Anggi (korban), adalah Anggi mencoba merekam saat polisi melakukan pengamanan terhadap suporter yang tidak bertiket di sekitar pos penjagaan sekitarar pukul 16.30 WIB. Anggi merekam untuk kemudian meng-capture dan menjadikanya sebagai foto berita. Saat merekam, tiba-tiba saja ada polisi yang menghampiri dan sambil menunjuk seraya mengucapkan, “Mbak gak boleh itu merekam! hapus, hapus!”.
Saat itu, Anggi menggunakan dan menunjukkan kartu pers serta memberitahukan bahwa dia adalah jurnalis. Tapi polisi tetap bersikukuh bilang kalau Anggi tidak boleh merekam dan sempat menyuruh menghapus. Karena merasa terpojok dan tidak menyangkan polisi berbuat intimidatif, akhirnya Anggi menuruti permintaan tersebut. Apalagi, ini merupakan peristiwa seperti ini yang pertama dialami Anggi.
Tapi belum sempat menghapus video, polisi itu tiba-tiba meminta handphone Anggi dan menghapusnya sendiri. Video yang direkam Anggi terhapus dan tersisa hanya yang foto-foto awal saat bonek datang dan saat polisi berbaris untuk mengecek Bonek yang yang tidak bertiket. Kemudian seorang polisi berkata kepadanya, “ Sudah. Daripada sampeyan (Anda) kenapa-kenapa.”
Muncul pertanyaan besar, apa yang ingin disembunyikan aparat kepolisian dengan melakukan aksi intimidasi dan penghapusan paksa berkas-berkas foto dan video jurnalis? Jelas, aksi sejumlah aparat keamanan ini melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama Pasal 4 yang berbunyi:
1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kemudian Pasal 8 : Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Dan pelakunya dijerat dengan Pasal 18 yang berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Untuk itu, kami Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menyatakan:
1. Mengacam aksi sejumlah aparat kepolisian yang melakukan tindakan bertentangan dengan UU Pers. Apalagi, peristiwa ini terus berulang.
2. Meminta pihak kepolisian menjelaskan alasan memaksa jurnalis menghapus file foto dan videonya.
3. Meminta Dewan Pers turun tangan menuntaskan kasus ini.
4. Mendesak, agar institusi kepolisian menindak tegas anggotanya yang terlibat kejadian ini sesuai dengan aturan yang berlaku.
5. Agar perusahaan media tempat korban bekerja, kami harapkan memberikan pendampingan psikologis dan hukum, agar kasus ini bisa diselesaikan berpedoman pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Surabaya, 10 April 2019
Hormat kami,
Yovinus Guntur Miftah Faridl
Koordinator Divisi Advokasi Ketua