Istilah media corong bukan barang baru bagi kita. Istilah ini, memiliki kecenderungan negatif ketimbang positif. Khalayak umum memahami istilah ini dengan merujuk pada media-media yang partisan atau memiliki afiliasi politik dengan partai dan kontestan pemilu. Tidak salah dengan anggapan ini. Media corong, semprongnya kepentingan politik dan bisnis pemilik. Oligarki pengusaha media dan kekuatan politik, menyatu harmoni mempercepat penggalian kubur kematian jurnalisme.
Yang paling sulit kita lupakan adalah, bagaimana dua media televisi mainstream tanah air menjadi ‘humas’ dua kontestan capres-cawapres 2014. Metro TV ada di kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan tvOne ada di pihak Prabowo Suboanto-Hatta Rajasa. Ada yang disebut sebagai TV merah yang diarahkan ke tvOne, ada TV biru merujuk ke Metro TV. Keduanya mewakili kepentingan politik pemilik. Belum lagi media di bawah naungan MNC Group yang ikut-ikutan paratisan.
Profesi jurnalis menjadi di titik terendah ketika itu, bahkan mungkin sampai saat ini. Profesi ini dilihat tak lebih dari bagian kelompok kepentingan politik pragmatis, serakah, culas dan penipu. Para pemilik media itu, mana mau tahu. Mereka tetap saja bertahan pada prinsip, kepentingan politik dan pribadi hal utama. Mereka lupa, media massa bekerja untuk publik, bukan pemilik. Tapi kepentingan pemilik mengalahkan itu semua.
Dewan Pers memaparkan hasil penelitian tiga lembaga independen terkait pemberitaan media, 14 hari sebelum coblosan 2014. Ketiga lembaga itu adalah Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Remotivi, dan Masyarakat Peduli Media (MPM). Hasilnya terjadi banyak pelanggaran kode etik yang paling mendasar dalam praktik jurnalisme. Oligarki pemilik media, bertalian dengan kepentingan politik mereka.
Pada praktik yang lain, media corong juga lebih gemar melayani cuap-cuap pejabat. Presiden ngomong apa, ya itulah yang diambil. Jenderal bicara apa, ya sudah itu cukup. Media dan jurnalis macam ini, hanya menjadi tadah ludah narasumber mereka. Bisa saja karena kurangnya wawasan, atau tidak sedikit pula karena memang memiliki paradigma corong belaka.
Pada posisi demikian, jurnalis dan media hanya sebatas alat bagi para pejabat itu untuk menyampaikan sesuatu. Pejabat tersebut, tentu akan menyampaikan hal-hal yang menurutnya positif. Paling tidak hal normatif. Asal tidak negatif dan berimplikasi buruk pada citra si pejabat. Kita banyak sekali melihat berita demikian di semua platform media massa. Porsi publik bicara sangat minimalis dibanding pejabat.
Apakah ada yang salah? Tentu tidak bila dilihat dari prinsip jurnalistik dasar, yakni konfirmasi. Pada banyak talk show di media televisi, host acara pun banyak yang hanya menjadi pengatur siapa yang akan bicara dan siapa yang menunggu giliran. Sebatas tanya jawab. Media hanya membuat panggung untuk para narasumber. Publik hanya melihat para elit saling bantah, saling tuding, saling pinter-pinteran.
Sebagai contoh sederhana, jurnalis bertanya apa komentar si calon melihat kenyataan praktik korupsi merajalela. Si calon menjawab, “Itulah. Makanya pilih kami. Para elit itu korup. Hidup foya-foya, serba mewah. Saya tidak mau lagi bergaul dengan mereka yang korup. Korupsi adalah perbuatan yang keji. Koruptor itu maling rakyat. Saya sudah kapok bersama para elit yang korup itu.”
Salah? Tidak juga. Ada peristiwa (praktik korupsi), ada narasumber yang kompeten (si calon) dan ada tahapan jurnalisme (wawancara). Jurnalis kemudian menulis dan menyajikan berita tersebut. Si calon tentu punya kepentingan, yakni mencitrakan dirinya sebagai sosok antitesa dari yang ditudingkannya. Jurnalisnya pun merasa cukup lumayan bisa mengirim berita di hari itu.
Padahal, si jurnalis bisa mengkonfrontasi pernyataan itu dengan, pertanyaan: “Di koalisi Anda, ada partai yang banyak petinggi partainya terjerat kasus korupsi. Kondisi ini berbeda dengan pernyataan anda tadi yang tidak ingin bergaul dengan mereka. Hidup foya-foya dan bermewah-mewah juga. Apakah ini bukan ironi?.” Pertanyaan semacam ini, akan menghadirkan perspektif kritis bagi publik. Jadi publik bukan hanya sekadar tahu, tetapi punya perspektif tentang sebuah informasi yang diterimanya.
Harus ada garis pembeda yang tegas antara praktik jurnalisme dengan kehumasan. Produk jurnalisme bukan humas. Praktik jurnalisme corong yang paling parah sebenarnya adalah defisitnya prespektif kemanusiaan sehingga hilang nalar kritis seorang jurnalis. Kombinasi antara media partisan dan ‘humas’, menegasikan fungsi jurnalis dan media massa sebagai alat kepentingan publik. Ketika jurnalis dan media massa terjebak hanya dengan menelan ucapan narasumber, di situlah awal dari matinya jurnalisme.
Matinya jurnalisme sebenarnya sudah terjadi di banyak media. Bisa dikatakan ini sebagai bunuh diri. Banyak media berlomba menjalin kerjasama mengikat dengan lembaga yang seharusnya diawasinya. Banyak media misalnya mem-branding pemerintah daerah. Jangan harap ada berita bermuatan kritik yang diarahkan ke pemerintah daerah itu. Publik cuma dicekoki informasi searah yang berisi citra baik pemerintah. Ini tidak gratis. Media tersebut mendapatkan suplai uang, bisa berupa iklan atau program. Yang demikian disebut jurnalisme gincu!
Alih-alih menguji data yang dikumpulkan dan didapatnya, mereka lebih sibuk memoles klaim narasumbernya agar terkesan kredibel. Padahal, menguji data atau pernyataan adalah hal sakral dalam prinsip jurnalisme. Dengan menguji data dan keterangan itu, seorang jurnalis atau dan media massa, menghindarkan diri dari sikap partisan. Jurnalisme itu menyibak kabut bagi publik dalam melihat persoalan. Bukan malah menghadirkan kebingungan dan ketidakjelasan.
Di masa kontestasi politik 2019, kita mudah saja melihat praktik jurnalisme tanpa prespektif kemanusiaan. Memang, ada media massa yang kebijakan redaksinya tidak terkontaminasi penyakit partisan. Pemilik media sekaligus pemilik partai yang terafiliasi dengan kontestan, mengintervensi ruang-ruang redaksi. Turut campur menentukan mana yang boleh dan tidak untuk dimuat yang disesuaikan dengan kepentingannya.
Sedangkan ada di antara media massa yang mendeklarasikan diri sebagai media netral. Apakah netralnya media massa dan jurnalis itu cukup? Sangat tidak cukup bila dilihat dari prespektif hak asasi manusia (HAM). Jurnalisme kritis tidak memberikan ruang pada sikap netral yang sebenarnya sama saja mendiamkan kejahatan terjadi. Apa ukurannya? Kemanusiaan dan HAM yang sifatnya universal. Itulah panduan dasar dari jurnalisme kritis.
Anomali yang terjadi memang kejam. Ketika kita mengkritik pasangan capres-cawapres Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, dengan cepat ada pihak yang menuding kita berpihak ke kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, tak heran berita seputar kontestasi politik di media massa tanah air, bisa dibilang landai-landai saja. Main aman hanya sekedar adil dalam pemberian durasi dan halaman. Mereka merasa cukup hanya sebatas, paslon ini dapat 2 menit, paslon satunya juga 2 menit. Adil sekadar diukur dengan matematika.
Jurnalis dan media massa seharusnya memiliki acuan isu yang harus mereka konfrontasikan dengan para kontestan. Misalnya hak kebebasan berekspresi, persekusi terhadap LGBT, pelanggaran HAM di Papua, penuntasan pelanggaran HAM berat, penculikan, penutupan rumah ibadah, pengusiran karena beda keyakinan dan lain-lain. Isu-isu itu mewakili kepentingan publik untuk tahu. Isu-isu itu berasal dari publik. Bukan sebaliknya, media malah terjebak dengan isu-isu elitis yang diciptakan kontestan untuk dicekokkan ke publik.
Misalnya keputar kekerasan yang dialami terhadap komunitas LGBT bisa menjadi isu yang diuji. Publik perlu tahu apa yang ada di pikiran para kontestan ketika mengetahui fakta ada pelanggaran HAM yang dialami komunitas LGBT. Faktanya, kedua kontestan cenderung menghindar. Mengapa? Bagi mereka, mengecam tindakan persekusi yang dialami LGBT, bisa menggerus suara mereka. Para politisi ini memainkan pendekatan populisme sehingga hak minoritas sering kali diabaikan.
LGBT termasuk isu populis yang bisa dimainkan untuk mendulang suara. Stigma negatif masyarakat, membuat politisi memilih mengambil jarak dengan komunitas LGBT. Maka di saat itulah, jurnalisme melakukan pembelaan dengan prespektif kemanusiaan atau HAM. Media massa tentu harus memiliki prespektif kemanusiaan yang kuat untuk mendorong perubahan kebijakan terkait persekusi LGBT dan kelompok yang dimarjinalkan lainnya.
Bencana ekologi akibat tambang di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur juga bisa menjadi contoh sederhana. Mengapa para kandidat bungkam dengan apa yang terjadi di sana? Jurnalisme corong menguatkan kebungkaman itu. Buku ‘Menambang Emas di Tanah Bencana’ karya jurnalis Ika Ningtyas memberikn jawaban. Irisan oligarki politik, media dan para elit yang berlaga di Pilpres, menciptakan media corong di posisi paling sempurna.
Sejumlah media lokal bahkan menulis terang benderang bahwa aktivitas pertambangan emas di sana ramah lingkungan dengan segala polesan indahnya. Media macam ini mengabaikan fakta kerusakan ekologi, sosial dan ancaman bencana yang setiap saat menimpa ribuan manusia di sana. Praktik lacur atau sekadar kepongahan jurnalis dan media, tentu mungkin kolaborasi keduanya.
Warga penolak tambang, Budi Pego dijerat pidana dengan tuduhan PKI dan menyebarkan paham komunis. Media tutup mata. Namun begitu seorang Joko Widodo, presiden sekaligus petahana Pilpres, curhat ingin melawan fitnah PKI yang ditujukan pada dirinya, sorot kamera langsung fokus pada suara dan ekspresi wajah sang presiden. Tidak ada yang mempertanyakan perihal nasib Budi Pego yang bernasib sama kepada Joko Widodo.
Isu kasus penculikan aktivis juga demikian. Isu ini digoreng sedemikian rupa ketika musim pemilu tiba. Kubu 01 menuding 02 adalah penculik dan pelanggar HAM. Kubu 02 menuding kubu 01 lah yang pelangar HAM berat. Saling tuding tidak berujung. Jurnalisme terjebak pada pusaran problematik para elit kontestan pemilu. Tidak ada prespektif, tidak ada solusi. Publik cuma jadi penonton di luar ring tinju.
Agar tidak terjebak di pusaran tersebut, seharusnya jurnalis dan media massa memiliki prespektif tentang sebuah isu, HAM misalnya. Prespektif ini menjadi penting agar sebuah isu bisa ditempatkan pada posisi yang sebenarnya, yakni kepentingan publik terutama penyintas dan bukan kontestan yang berlaga. Ketika kita tempatkan pertanyaan kritis kepada salah satu calon, bukan berarti kita mendukung calon lain. Prespektif kemanusiaan-lah yang menjaga kita dari sikap dan bahkan tudingan partisan.
Ketika kubu pasangan 01 menuding pasangan 02 penculik dan pelanggaran HAM, jurnalis harus berani mengejar tudingan itu dengan pertanyaan, “Selama 5 tahun menjabat, dan jabatan itu adalah kesempatan untuk mengungkap tudingan itu, tapi calon Anda tidak melakukan apa-apa untuk mengungkap pelanggaran HAM masa lalu itu. Aksi patung hitam di depan Istana pun Bapak Abaikan. Pembunuh Munir juga berkeliran. Apa karena di kubu Anda ada orang yang diduga pelanggar HAM itu juga?”
Begitu juga dengan tudingan kubu 02 ke 01 yang dianggap sebagai rezim yang membuat penguasan lahan dikuasai 1 persen elit. Konfrontasi fakta itu dengan pertanyaan, “Bukannya yang di era petinggi partai koalisi Anda, ijin konsensi itu diberikan kepada para pengusaha atau elit, termasuk elit di kubu Anda? Jadi aneh ketika Anda menuding kubu lawan ketika pelakunya kubu Anda sendiri. Apa kritik Anda kepada elit partai yang mendukung Anda sekarang yang dulu menjadi menteri?”
Jurnalis dan media massa tidak bisa netral ketika mendapati ada pelanggaran HAM berat dialami oleh sekelompok warga, yang tidak memiliki kekuatan dan secara struktural dihimpit kekuasaan berlapis-lapis. Sehingga mereka tidak bisa bersuara membela diri. Itulah ketika netral saja tak cukup, jalan dengan prinsip imparsial dan independenlah yang harus diambil. Bahasa kerennya adalah, giving voice of voiceless (memberikan suara kepada mereka yang tak bisa bersuara).
Yang jelas, kita tidak melihat ulasan tentang oligarki penguasaan konsesi tambang dan sawit oleh para elit di kedua kubu di media massa kita. Padahal, membedah permasalah substantif itulah yang dibutuhkan publik, untuk membangun prespektif mereka apakah memilih 01 atau 02, atau bahkan tidak memilih sama sekali (golput) karena secara substansi keduanya sama saja. Sama-sama pelanggar HAM, sama-sama penguasa lahan konsesi.
Daaan yang paling mengerikan dari kondisi ini adalah, kaum oligarki itu berhasil menciptakan standar jurnalisme berdasarkan keinginan mereka. Pada akhirnya, praktik lacur, partisan dan bias itulah yang akan disebut sebagai jurnalisme..
Penulis:
MIFTAH FARIDL
Ketua AJI Surabaya