Jurnalis Wajib Patuh Pada Kode Etik dan Pedoman Peliputan Terorisme

SALAM INDEPENDEN!

Kami mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga dan doa terbaik bagi para korban serangkaian bom di Surabaya. Bagi korban yang masih dirawat, semoga cepat dipulihkan. Ekskalasi teror di Surabaya dan sekitarnya juga patut diperhatikan kawan-kawan jurnalis. Kami menyertukan agar kawan-kawan jurnalis meletakkan keselamatan jiwa sebagai prioritas utama dalam melakukan peliputan, di mana pun.

Kawan-kawan jurnalis perlu mengetahui dan mengingat bahwa posisi jurnalis dalam melakukan peliputan adalah untuk kepentingan publik. Sebagai sebuah profesi, seorang jurnalis terikat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam KEJ sudah diatur soal independensi, keberimbangan, akurasi, memisahkan antara opini dan fakta, bertikat baik, menguji semua informasi yang diterima sampai perlindungan terhadap narasumber.

Penerapan KEJ ini mutlak dilakukan setiap jurnalis. Namun, masih saja ada sejumlah media menyajikan berita dengan menabrak KEJ. Misalnya, menggunakan video serangan bom ini tanpa proses editing di bagian-bagian yang memperlihatkan sadisme. Kalau media massa tidak melakukan proses editing, lalu apa bedanya dengan media sosial? Perlu diingat, menampilkan gambar baik foto maupun video itu, sama halnya menebarkan ketakutan dan sadisme kepada publik.

Di sisi lain, itulah yang diharapkan pelaku teror yang mengingkan aksinya tersebar luas. Begitu juga penayangan foto-foto anak-anak yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri tanpa di-blur. Perlu diketahui, dalam setiap peliputan para jurnalis harus paham prespektif terorisme, anak dan korban. Tanpa perspektif tersebut, berita yang disajikan hanya akan menjadi bahan bakar munculnya keresahan dan kekerasan baru.

Kelalaian lain adalah, masih ada media massa yang menampilkan berita yang bersifat spekulatif. Saat terjadi pengeboman tiga gereja pada 13 Mei 2018, ada media yang menyajikan berita bahwa 25 titik di Surabaya akan diledakkan. Sumber yang dipakai sumir. Jurnalis dan media massa malah menjadi agen penyebar keresahan publik. Perlu diingat, akan ada konsekuensi pidana bila seorang jurnalis atau media massa mengetahui informasi terkait bom itu kemudian disimpan dengan dalih lebel eksklusif.

Untuk itu, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Surabaya menyerukan agar para jurnalis menggunakan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme.

  1. Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita.
  2. Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan ke aparat dan tidak boleh menyembunyikan infomasi itu dengan alasan mendapatkan liputan eksklusif.
  3. Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme.
  4. Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung tidak melaporkan secara terinci/ detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat melumpuhkan para tersangka terorisme.
  5. Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku.
  6. Wartawan harus menyebutkan kata ‘teduga’ terhadap orang yang ditangkap aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindakan terorisme. Untuk menjunjung azas praduga tak bersalah.
  7. Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokais yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.
  8. Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum.
  9. Wartawan wajib mengindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada, mendorong agar perhatian khusus misalnya penelantaran anak-anak terduga teror.
  10. Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan, pendekatan, yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.
  11. Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas, dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, pengalaman, narasumber yang relevan dengan hal-hal yang akan memperjelas, memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.
  12. Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya.
  13. Wartawan wajib selalu melakukan check dan recheck terhadap semua berita tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme maupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah berita yang ada hanya sebuah isu atau hanya sebuah balon isu (hoax).

 

Surabaya, 14 Mei 2018

Ketua AJI Surabaya : Miftah Faridl (081331880990)

Sekretaris : Eben Haezer Panca (082131950442)