Diskusi bertajuk Rasan-rasan Serius membahas Independensi Wartawan dan Pusaran Politik Pilkada digelar di Warung Mbah Cokro, Selasa (20/2) malam. Diskusi ini menghadirkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Miftah Faridl dan Profesor Rachmah Ida, pakar komunikasi media Universitas Airlangga Surabaya, dengan moderator Hendro D Laksono, pendiri Klub Jurnalistik.
Dalam paparan pembukanya, Miftah Faridl melontarkan pertanyaan kepada para peserta diskusi
terkait banyaknya diskusi membahas soal independensi jurnalis di tahun politik. Ia menjelaskan, ada penyimpangan yang dilakukan media massa dan jurnalisnya di tahun politik seperti sekarang ini. Prilaku itu bisa dilihat di pemilihan presiden 2014 lalu.
“Penyimpangannya tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun politik sebelumnya. Saya bisa memahami mengapa banyak sekali diskusi semacam ini. Selalu banyak yang mempertanyakan independensi jurnalis. Itu artinya, kita memang belum selesai dengan permasalahan ini. Masyarakat meragukan independisi jurnalis, sampai harus menggelar diskusi semacam ini” ujarnya.
Farid mengungkapkan, rendahnya integritas menjadikan independensi musnah. Secara prinsip, AJI tidak melarang anggotanya yang ingin terjun di dunia politik. Asal, ia mengundurkan diri dan melepas keanggotaan AJI. Dalam kode etik dan Prilaku AJI, kata Faridl, tidak ada toleransi bagi anggota AJI bersikap partisan apalagi menjadi bagian dari pasangan calon yang berlaga di pilkada.
“Satu anggota AJI Surabaya minggu lalu mengundurkan diri karena memilih membantu pasangan calon gubernur di Jawa Timur. Pilihan mundur itu jauh lebih bermartabat ketimbang bersembunyi di balik profesi dan melacurkannya. Ada banyak sekali jurnalis ide luar sana yang memilih jalan lacur dengan menggadaikan profesinya,” imbuh mantan anggota Divisi Advokasi AJI Surabaya itu.
Di sisi lain, Profesor Rachmah Ida, juga menggarisbawahi apa yang membuat jurnalis tergiur bermain api di tahun politik ini. Ia melihat, ketertarikan itu bukan hanya soal materi, melainkan akses yang jurnalis dapatkan. “Intinya ada keuntungan pribadi yang didapat. Penyimpangan-penyimpangan ini sebenarnya bukan hal yang baru,” ujar Ida.
Menurut Ida, desakan bersikap independen bukan cuma untuk jurnalis semata. Perusahaan media pun juga harus independen dan imparsial. Tawaran iklan di tahun politik cukup menggiurkan. Apalagi, kata Ida, seringkali jurnalis diwajibkan mencari iklan politik yang berpotensi menggangu independensi.
Sementara itu, pendiri Klub Jurnalistik, Hendro D Laksono mengungkapkan, diskusi semacam ini merupakan bentuk edukasi baik pemilik media, jurnalis sampai konsumen media. “Literasi penting untuk masyarakat supaya kritis ketika instrumen media bertindak menyimpang. Termasuk dalam pilkada serentak tahun ini,” kata Hendro.