SURABAYA –
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menganggap isi siaran pers manajemen MNC Group Media sebagai bentuk kepanikan. Dalam siaran pers itu, MNC yang merupakan holding dari Media Nusantara Informasi (MNI) yang membidani Koran Sindo, membantah segala tudingan perihal pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan karyawannya di berbagai daerah.
Dalam rilisnya, manajemen mengakui PHK merupakan akses atau dampak dari perubahan strategi dari koran regional menjadi nasional. Ujungnya adalah efisiensi berupa PHK di daerah-daerah. Di Jawa Timur, ada 37 karyawan yang diputus hubungan industrialnya. Pemutusan kerja dilakukan tanpa ada perundingan terkait hak-hak karyawan.
Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl, mengungkapkan, kebijakan itu memiiki konsekuensi manajemen harus membayar dua kali pesangon sesuai masa kerja, uang penghargaan dan pengganti hak. Artinya, sudah menjadi kewajiban manajemen MNI membayar semua hak itu karena PHK merupakan kebijakan manajemen.
“Manajemen lupa, bagaimana proses PHK terjadi. Bisa dibayangkan, karyawan mengabdi 11 tahun kemudian hanya dikirimi selembar surat berisi bahwa dia di-PHK pada 23 Juli, dua hari sebelum Lebaran. Di surat itu tertulis kalimat manajemen bertikikad baik dengan memberi kompensasi,” ungkapnya.
Ia mempertanyakan apa itikad baik manajemen. Logikanya, kata Farid, kalau ada itikad baik, tentu 37 karyawan yang di-PHK tidak akan protes. “Bisa dibayangkan, PHK dulu, baru membuka ruang komunikasi. Ini seperti divonis dulu kemudian diajak berunding. Apalagi etelah muncul protes, pada 7 Juli, manajemen menawarkan mutasi ke semua ter-PHK,” ujarnya.
Menurut Farid, inilah bentuk kepanikan itu. Pasalnya, menjadi lucu karena surat PHK yang dikeluarkan manajemen otomatis dibatalkan akan lantaran ada tawaran mutasi. Padahal, 37 eks karyawan yang di-PHK sudah menerima pemberhentian itu dan statusnya sudah bukan karyawan. Saat ini tinggal soal tanggung jawab manajemen karena sudah mem-PHK mereka.
“Eks karyawan tentu menolak mutasi. Pasalnya, mereka kan sudah bukan karyawan lagi, wong sudah di PHK. Kedua, mereka ini sudah taat karena menerima PHK. Mereka Cuma minta haknya dan kewajiban perusahaan. Manajemen panik dan ngmong ada itikad baik. Kalau beritikad baik, ya bayar mereka sesuai UU Ketenagakerjaan. Itu baru itikad baik,” kata Farid.
Ketua Paguyuban Karyawan Sindo Jatim, Tarmuji Talmacsi, mengungkapkan, klaim itikad baik yang selalu dikatakan manajemen MNI sangat melukai perasaan dia dan rekannya yang di PHK. Mantan karyawan yang mengabdi hampir 10 tahun itu mengungkapkan, bisa memahami perubahan bisnis dari Koran Sindo, terutama dampaknya yakni efisiensi.
“Kita sudah diberi sosialisasi soal perubahan itu. Sudah kita terima. Kemudian di-PHK juga sudah kita terima. Padahal, PHK-nya tidak sesuai aturan UU Ketenagakerjaan. Sekarang kami hanya, sekali lagi hanya meminta hak kami. Sesederhana itu sebenarnya. Kenapa jadi mbulet dan manajemen malah pencintraan. Katanya kekeluargaan? Tapi kekeluargaan yang menguntungkan manajemen saja,” keluhnya.
Soal investor memang sempat disinggung manajemen. Ia pun berterima kasih kalau memang ada investor masuk. Namun, satu hal, kata Tarmuji, manajemen harus menyelesaikan dulu kewajibannya kepada karyawan. Pasalnya, konsekuensi masuknya investor adalah masa kerja dihitung nol tahun karena perusahaan dikelola manajemen dengan PT baru.
“Bagi kami, yang rata-rata usianya 40 tahun ke atas, hak kami tidak besari kok. Mengapa? Anda tahu kesempatan kerja di usia itu sudah sangat kecil. Dibandingkan aset milik perusahaan juga sangat kecil. Mengapa hak kami yang sangat kecil itu masih diingkari dengan segala dalil? Ini yang menyakitkan,” imbuh Tarmudji.
Mantan karyawan koran yang dipimpin Hary Tanoesudibjo itu menegaskan, tuntutannya tidak melebihi hak, yakni dua kali Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau PMTK. Tuntutan ini sesuai pasal 164 ayat 3, Undang-undang Nomer 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Baginya, mengakhiri hubungan kerja dengan media yang sudah dibesarkannya sangat menyakitkan.