Dunia kerja akan menjadi jujugan berikutnya bagi para mahasiswa, tak terkecuali mereka yang sedang belajar di Jurusan Ilmu Komunikasi. Profesi jurnalis merupakan satu dari sekian banyak pilihan pekerjaan yang bakal dipilih. Namun, wawasan mengenai seluk-beluk jurnalistik dan perusahaan media masih nol.
Melalui kegiatan Pemutaran dan Diskusi Film “Di Balik Frekuensi” yang digelar Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (IMIKI) Cabang Surabaya Madura Sidoarjo Tuban (SMST). Kegiatan yang diadakan di kampus Universitas Dr Soetomo Surabaya (Unitomo) pada Jumat 7 April 2017, sedikit menambah wawasan mereka. Setidaknya itu dapat diukur dari ulasan dan pertanyaan yang dilontarkan kepada Marta Nurfaidah, anggota AJI Surabaya.
Film besutan Ucu Agustin tersebut menuturkan perjuangan dua orang yang terkait dengan dua konglomerat media di Indonesia. Pertama, tentang perjuangan jurnalis perempuan Luviana yang diberhentikan secara sepihak oleh Metro TV, milik Surya Paloh. Kedua, Hari Suwandi, warga korban lumpur Lapindo yang beraksi jalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta untuk memperjuangkan hak-hak warga lainnya memperoleh pembayaran ganti rugi yang sepadan dari PT Menarak Lapindo Jaya, milik Aburizal Bakrie.
Hasil akhir dari perjuangan mereka itulah yang menjadi titik perhatian para peserta diskusi. Bagaimana nasib Luviana yang terkatung-katung dan ucapan maaf Hari Suwandi kepada Aburizal Bakrie yang ironis dan sangat bertolak belakang dengan tujuannya semula membuka realita media massa di negeri ini. Betapa berkuasanya oligopoli media massa di Indonesia saat ini, serta semakin kuatnya cengkeraman ekonomi kapitalis yang dibangun oleh segelintir orang saja. Media dimiliki oleh politikus untuk menjadi medium persebaran ideologi ekonomi dan politiknya.
Pertanyaan seputar kesejahteraan jurnalis disampaikan Muhammad Zufar Mimbar Alamsyah, mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Dia menanyakan mengapa gaji jurnalis itu sebagian besar masih di bawah standar upah minimum. Sementara itu, Amamal Karimah dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, ingin mengetahui mengapa saat ini media televisi seolah hanya mengejar rating demi perolehan iklan.
Obrolan dan diskusi kemudian mengarah ke biaya operasional sebuah perusahaan media, fenomena amplop yang masih terjadi hingga sekarang, posisi serikat pekerja di perusahaan media, dan bagaimana sebaiknya seorang mahasiswa tetap berpijak pada idealismenya untuk menjadi seorang jurnalis di masa mendatang.
Setidaknya dari sekian peserta, separo di antaranya telah menggeluti dunia jurnalistik dan ingin tetap berada di sana. Setidaknya perjuangan menuju jurnalisme ‘bersih dan adil’ masih menggelora di antara generasi baru bangsa ini. (Marta Nurfaidah)