HENTIKAN PEMBUNGKAMAN KEBEBASAN EKPRESI DAN PELUMPUHAN KEBEBASAN AKADEMIK
Sungguh ironis! Di tengah kebebasan ekspresi menguat, justru kini kerap dibungkam dan dilumpuhkan. Tindakan penyitaan buku-buku dan pembubaran sepihak kegiatan diskusi ilmiah, tekanan terhadap aktifitas kebebasan ekspresi, terjadi karena dianggap sebagai upaya membangkitkan komunisme.
Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, menunjukkan reaksi berlebihan dan keluar dari wilayah hukum dengan memerintahkan penyitaan buku-buku sejarah dan kajian-kajian yang dianggap “kiri”. Stigma dan penyederhanaan masalah semacam ini, justru menumpulkan pembelajaran bangsa atas sejarah dan ilmu pengetahuan. Celakanya, hal ini pula terjadi di lembaga pendidikan tinggi, sehingga merendahkan derajat kampus yang seharusnya mengawal benteng kebebasan akademik dan ekspresi (praesidium libertatis).
Selain itu reaksi yang diikuti dengan mobilisasi masa, justru bertolak belakang dengan perintah Presiden RI, Joko Widodo, yang menegaskan perlunya mematuhi berbagai hukum yang berlaku di Indonesia dan memastikan demokrasi tetap berjalan di tanah air. ,
Dalih kebangkitan komunis merupakan pernyataan tanpa dasar karena tidak dikuatkan oleh bukti-bukti yang jelas. Tindakan represif dan reaksi yang memancing keresahan tersebut memperlihatkan fobia yang berlebihan terhadap komunisme. Cara yang menggunakan pola represif dan intimidatif merupakan cara yang lazim dipakai di rezim otoritarian seperti masa Orde Baru, menciptakan “hantu-hantu” untuk menakut-nakuti masyarakat Indonesia. Penafsiran semena-mena atas beberapa Undang-undang yang dipakai untuk represi ini justru kontradiktif dengan konstitusi Indonesia dan berbagai putusan Mahkamah konstitusi yang menjamin penghargaan kebebasan berpikir dan berekspresi di tanah air, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010 tentang pembatalan PNPS No. 4 tahun 1963 tentang Pelarangan Buku.
Sejak reformasi dan demokrasi dimulai di Indonesia, banyak hal kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini. Termasuk diantaranya adalah meningkatnya kualitas pengetahuan dan majunya pemikiran serta kematangan berdemokrasi warga negara Indonesia. Kemajuan ini tidak lepas dari luasnya akses terhadap pengetahuan dan keleluasaan melakukan kajian-kajian ilmiah yang semakin mencerdaskan anak bangsa. Adapun berbagai kegiatan kebudayaan dan akademik, termasuk publikasi, merupakan upaya bersama masyarakat sipil untuk mendukung pemerintah Indonesia bersikap dan mengambil tindakan menyelesaikan beban kesejarahan bangsa ini yang menghambat pembangunan dan demokrasi. Utamanya, upaya pengakuan dan keadilan sosial bagi warga negara Indonesia.
Bangsa ini harus sadar bahwa peradaban kemanusian perlu didorong dalam bentuk penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, menciptakan perluasan keadilan sosial, serta memperkuat pondasi negara hukum dan demokrasi konstitusional.
SEPAHAM menegaskan bahwa tindakan-tindakan represif dan intimidatif atas kebebasan ekspresi dan kebebasan akademik harus segera dihentikan. Pemerintah Joko Widodo harus bersikap tegas, tidak hanya menindak tegas tindakan-tindakan insubordinasi dan melawan hukum, melainkan pula memastikan Negara Hukum dan demokrasi di Indonesia tetap bisa dirawat, sekaligus melanjutkan upaya-upaya menyelesaikan segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia demi keadilan bagi seluruh anak bangsa di Indonesia.
Surabaya, Indonesia, 18 Mei 2016
Kami yang menyatakan:
1. Herlambang P. Wiratraman (Universitas Airlangga)
2. Ayu Wahyuningroem (Universitas Indonesia)
3. Moh. Saleh (Universitas Narotama Surabaya)
4. Haidar Adam (HRLS Universitas Airlangga)
5. Majda El Muhtaj (PUSHAM Universitas Negeri Medan)
6. Hadi R. Purnama (Sentra HAM, Universitas Indonesia)
7. Manunggal K. Wardaya (Universitas Jenderal Soedirman)
8. Dian Noeswantari (PUSHAM Universitas Surabaya)
9. Heru Susetyo (Bidstu Hukum dan Pembangunan, Universitas Indonesia)
10. Tisnanta (PKKP-HAM Universitas Lampung)
11. Muktiono (Universitas Brawijaya)
12. Iman Prihandono (HRLS Universitas Airlangga)
13. Patricia Rinwiganti (Sentra HAM Universitas Indonesia)
14. Gautama B. Arundhati (Universitas Jember)
15. Umar Sholahudin (Universitas Muhammadiyah Surabaya)
16. Eko Riyadi (PUSHAM Universitas Islam Indonesia)
17. Aloysia Vira Herawati (PUSHAM Universitas Surabaya)
18. Rosita Indrayati (PUSHAM Universitas Jember)
19. Siti Rakhma Mary (Prodi Hukum, President University)
20. Cekli Setya Pratiwi (SatuHAM, Universitas Muhammadiyah Malang)
21. Haris Azhar (Universitas Trisakti)
22. Zainal Arifin Mochtar (Universitas Gajah Mada)
23. Niken Savitri (Universitas Parahyangan)
24. Haris Retno Susmiyati (Universitas Mulawarman)
25. Tanius Sebastian (Universitas Parahyangan)
26. Dwi Rahayu K (HRLS Universitas Airlangga)
27. Devi Rahayu (Universitas Trunojoyo Madura)
28. Asri Wijayanti (Universitas Muhammadiyah Surabaya)
29. Rosnida Sari (UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
30. Heribertus Jaka Triyana (FH Universitas Gajah Mada)
31. Joko Ismono (FH Universitas Wijaya Putra)
32. Frangky Butar-Butar (FH Universitas Airlangga)
33. Saut Martua Samosir (FH Universitas Jember)
34. Al Khanif (PUSHAM Universitas Jember)