
Program Telusur di tvOne yang tayang beberapa hari lalu menuai reaksi dari kelompok bonek, sebutan bagi suporter Persebaya. Para suporter ini spontan mengirim pesan berantai ke suporter lain untuk mendatangi kantor Biro tvOne Jawa Timur di Surabaya pada 22 Februari 2016. Mereka protes karena program itu mendiskreditkan kelompok bonek.
Bonek menuding, liputan mendalam itu hanya menggiring opini publik bahwa kelompok bonek pelaku kejahatan, sedangkan rivalnya, Aremania, kempok superter Arema Crounus adalah korban. Tayangan berdurasi sekitar 30 menit itu bermaksud memotret rivalitas kelompok suporter di Indonesia dengan mengambil contoh perseteruan Aremania vs Bonekmania.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya menilai, ada banyak hal yang harus dilihat dari dua peristiwa itu. Pertama, peristiwa terkait konten Telusur dalam kajian jurnalistik. Dan kedua, peristiwa ratusan keompok bonek mendatangi kantor Biro tvOne Jawa Timur. AJI Surabaya melihat, dua kejadian ini tidak bisa dipisahkan dari aspek historis di luar dunia jurnalistik.
Secara konten, AJI Surabaya menilai ada pelanggaran dalam penyusunan materi liputan. Tim Telusur, ceroboh dengan mengerucutkan perseteruan dua kelompok suporter ini hanya dengan satu peristiwa saja, yakni kematian dua supoter Arema Crouns asal Malang dan Blitar saat menuju Sragen untuk menyaksikan Arema bertanding.
Secara fakta memang ada dua orang yang tewas di Sragen. Fakta lain, ada kelompok bonek yang diamankan polisi setempat pasca penyerangan itu. Tim Telusur lantas melengkapi fakta ini dengan mewawancarai suporter Arema yang menjadi saksi, pengurus, dedengkot Aremania sampai Bupati Malang Rendra Khrisna juga diwawancarai.
Mewawancarai keluarga kedua korban lengkap dengan mendatangi rumah mereka menyuguhkan efek dramatis. Penonton dibuat terbawa dalam kesedihan keluarga, sekaligus kebengisan pelaku yaitu kelompok Bonek. Paket lantas disempurnakan dengan reporter berinteraksi dengan kelompok Aremania yang kreatif, tertib dan santun saat mendukung klubnya.
Reporter berinteraksi dengan Yuli Sumpil yang sedang memimpin Aremania bernyanyi. Kemudian, juga mewawancarai Aremania saat timnya kalah. Gambar tersebut menunjukkan bahwa Aremania sangat santun dan bisa menerima apa pun kondisi klub kesayangannya meskipun kalah di akhir laga. Mereka bubar dengan tertib.
Di sisi lain, reporter juga mewawancarai pelaku pengeroyokan hingga berujung tewasnya dua Aremania. Wawancara ini dilakukan sebagaia usaha untuk menyeimbangkan statmen saksi-saksi lain termasuk korban selamat saat peyerangan terjadi. Pengakuan kedua pelaku ini, menjadi dianggap tim Telusur sebagai pembenaran bahwa Bonek sudah membunuh Aremanian.
Secara matematis, formasi nara sumber yang diambil tim Telusur juga tidak berimbang. Ada tujuh orang, yakni dari beberapa suporter Aremania, dua orang keluarga korban, Yuli Sumpil, bahkan Rendra Khrisna. Sedangkan dari Bonek, ada tiga yakni dua pelaku pengeroyokan dan Andi Peci, tokoh Bonekmania. Dari sisi konten, wawancara Andi Peci hanya berisi soal rivalitas dan konflik kedua suporter ini. Dua pelaku pengeroyokan diwawancarai seputar peristiwa berdarah di Sragen. Berbeda dengan materi wawancara dengan Aremania yang lebih sarat memperlihatkan unsur ‘baik-baik’ saja, yaitu kreatif, loyalitas dan tertib.
Bagi kami, untuk liputan mendalam macam Telusur, konten liputan ini sangat datar dan minim riset. Seharusnya, tim Telusur harus melakukan pemetaan data dan fakta bentuk dan kejadian dari buah rivalitas kedua kelompok ini. Ketika gambaran rivalitas ini disuguhkan hanya dengans atu kejadian tewasnya anggota salah satu kelompok suporter di antara keduanya, maka yang terbagun adalah stgima dan framing.
Suporter ini baik, tertib, kreatif dan santun. Sedangkan kelompok satunya bengis dan brutal. Kelompok satu adalah korban, dan yang lain pelaku. Padahal, dari aspek rivalitas keduanya, tidak dikenal kata baik dan jahat. Penggunaan kata itu sangat relatif, yaitu di sisi kelompok mana pemakaian kata itu. Kami melihat, tayangan itu lebih banyak memprovokasi.
Terlalu naif mengangkat isu besar atau umum ini dari contoh yang khusus atau kecil. Rivalitas keduanya tidak bisa digambarkan hanya dengan satu kejadian. Dari aspek jurnalistik, ini adalah kemalasan luar biasa sehingga data dan fakta tidak disajikan untuk memberikan wawasan luas kepada pemirsa. Penyajian khusus ke umum boleh saja asal tidak boleh kehilangan konteks.
Seharusnya, tayangan panjang ini bisa mengurai akar masalah perseteruan itu dan bukan menyajikan kulit di permukaan. Karena malas riset, banyak fakta yang tidak disajikan. Misalnya, peristiwa pengeroyokan anggota Aremania oleh Aremania sendiri hanya karena korban mengendarai sepeda motor bernopol L sekitar dua tahun lalu. Rivalitas keduanya saling balas berbalas. Unsur balas dendam kental sekali.
Sudah seharusnya, media massa termasuk program Telusur lebih memberikan jalan keluar bagi rivalitas yang sudah merengut banyak korban jiwa dan raga dari sisi Aremania, maupun Bonekmania. Kami melihat, konten Telusur ini lebih kuat unsur provokasinya ketimbang ikut menyumbangkan solusi. Apalagi, tayangan ini ditutup dengan nyanyain Aremania, yang tak pantas disajikan. Isinya, kasar, sadistis dan provokatif.
Meski ada wawancara dengan pengamat dan psikolog, konten wawancara itu tertutup dengan konten provokasi yang menjadi sajian utama dalam peliputan itu. Akhirnya, liputan yang seharusnya mencerahkan, malah menjadi bensin yang diramkan di tengah kobaran bara rivalitas kedua suporter ini. Aspek lain yang sulit dielakkan adalah historis.
Dari analisa historis, Arema Cronus memiliki kaitan dengan kelompok media macam tvOne dan ANTV karena owner kedua media itu adalah keluarga yang sama yang mendanai Arema Crounus. Kelompok ini juga menjadi pembela setia PSSI. Sedangkan kelompok Bonekmania, adalah yang selama ini menyerang PSSI saat ini dan getol membubarkan ‘Persebaya’ bentukan kelompok Bakrie dan PSSI.
Hal kedua yang kami lihat adalah, kedatangan ratusan bahkan seribuan kelompok Bonekmania ke kantor Biro tvOne Jawa Timur. Aksi ini di kalangan jurnalis memang mengundang perdebatan. Kedatangan mereka dalam jumlah besar dituding sebagai bentuk intimidasi terhadap pers. Aksi mereka bisa menjadi preseden dan contoh bagi kelompok lain melakukan hal yang sama.
Namun, ketika kita tarik dari aspek sosioligis, kelompok suporter ini cair. Bonekmania, Aremania, Jackmania dan Bobotoh adalah pelebelan dari setiap orang yang mengaku sebagai suporter klub Persebaya, Arema, Persija dan Persib. Seharusnya, jurnalis tahu ketika mengaitkan nama kelompok suporter itu, kaitan itu berlaku bagi seluruhnya yang merasa menjadi bagian dari pecinta klub tersebut.
Kelompok ini kurang mendapatkan tempat di media massa. Ketika mereka tertib, tidak ada liputan yang ‘baik’ buat merena. Namun ketika ada kericuhan, pembakaran, bentrok atau apapun yang ‘buruk’, maka mereka menjadi subjek berita nomor satu. Dalam konteks ini kami melihat, para superter bisa menjadi kelompok yang frustasi karena stigma.
Kami tidak setuju dengan aksi ‘gruduk’ yang dilakukan siapa saja ke kantor media massa. Namun, peristiwa ini menjadi kritik sekaligus pelajaran buat media massa agar berhati-hati dalam menyajikan karya. Etika dan prilaku jurnalistik wajib dipegang. Bila melepas akidah itu, maka pelangaran etika dan prilaku tersebut bisa membahayakan kebebasan pers itu sendiri.
Pada akhirnya, pihak tvOne bersedia meminta maaf kepada Bonekmania. Permintaan maaf itu dijanjikan akan ditayangkan secara live.