Surabaya – JURNAL NASIONAL
Keberadaan waria (transgender) selama ini masih dipandang sebelah mata. Waria diidentikan dengan sampah masyarakat yang tidak penting. Konotasi masyarakat terhadap waria selalu dilekatkan dengan pekerja seks komersial yang nampang di pinggir jalan dengan dandanan yang seronok, atau banci kaleng– sebutan bagi pengamen waria yang keliling kampung dengan tamborin yang terbuat kaleng penutup botol. Tentu saja tak semua waria seperti itu.
Namun meski sebagian masyarakat meremehkan keberadaan waria, asal tahu saja jika mereka juga bisa memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar. Buktinya sekitar 30-an orang yang tergabung dalam Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) bakti sosial memotong rambut penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Surabaya yang menderita psikotis atau gangguan jiwa, Senin (29/04).
Pilihan untuk bakti sosial di lingkungan Liponsos ini sebenarnya tak lazim. Selain dianggap lingkungan yang kumuh karena tempat berkumpulnya gelandangan dan pengemis, memotong rambut penderita gangguan jiwa tentu saja mempunyai tantangan tersendiri. “Keluhan teman-teman waria yang memotong rambut biasanya adalah bau dan komunikasi yang tak lancar. Mereka kan penderita gangguan jiwa,” kata Novita Kurnia, Asisten Manager Monitoring dan Evaluasi Perwakos.
Kata Novita, ide untuk melakukan bakti sosial di lingkungan Liponsos ini berangkat dari pengalaman waria yang pernah terkena garukan Polisi Satuan Pamong Praja. Dari pengalaman pernah menginap di Liponsos itu kemudian mereka mempunyai ide untuk bakti sosial di Liponsos. Apalagi sepengetahuan para waria, jarang sekali orang atau lembaga yang mau melakukan bakti sosial di lembaga ini. Mereka pun akhirnya mengagendakan secara rutin tiap tiga bulan sekali bakti sosial di lingkungan Liponsos.
Apa yang dikatakan Novita ini dibenarkan oleh Suntoro salah seorang staf Liponsos. Kata Suntoro, masih jarang lembaga atau perorangan yang peduli dengan penghuni Liponsos. “Makanya kita terbantu dengan bakti sosial ini. Karena kami tak ada anggaran untuk perawatan rambut penghuni Liponsos,’ terang Suntoro.
Biasanya jika ada garukan gelandangan pengemis atau anak jalanan, pengasuh Liponsos langsung menggunduli mereka agar tampak lebih bersih. Namun itu hanya berlaku bagi penghuni Liponsos laki-laki. “Kalau perempuan tentu saja kita tak bisa gunduli rambut mereka sembarangan,” kata Suntoro.
Nah, di tangan hair stylist waria, sekitar 70an orang perempuan penderita gangguan jiwa itu ditangani. Hanya dalam waktu sekitar dua jam saja, rambut mereka bisa dirapikan. Tentu saja, mereka tak bisa pesan model seperti layaknya di salon. Potongan rambut mereka semuanya hampir seragam. Potong pendek namun dengan tetap mengedepan estetika. “Mereka rata-rata memang hair stylist profesional. Kalau tarif umum biasanya mereka pasang tarif 75ribu. Namun dalam bakti sosial ini mereka rela tak dibayar,” kata Denok salah satu pengurus Perwakos.