Kawasan Tambang Jember Tabrak UU RTRW Nasional

Salah satu sudut pertambangan emas rakyat di hutan lindung di Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. foto:surya/sri wahyunik
Salah satu sudut pertambangan emas rakyat di hutan lindung di Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. foto:surya/sri wahyunik

JEMBER – Jika Pemkab Jember tetap mengajukan kawasan
pertambangan sebagai basis pengembangan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maka itu akan menabrak UU RTRW Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang RTRW Nasional untuk kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008.

Demikian diungkapkan tim ahli independen dari Universitas Jember Abdul Qodim Manembojo usai mengikuti rapat panitia khusus Raperda RTRW itu di DPRD Jember, Senin (18/2/2013).

Menurut Qodim, dalam RTRW Nasional disebutkan kalau Kabupaten Jember dibagi untuk wilayah perkebunan, industri, perikanan laut, pertanian dan pariwisata. “Industrinya juga hanya industri pengolahan, bukan industri padat karya atau pertambangan,” ujar Qodim kepada surya.co.id

Ia mengakui kalau Jember mempunyai zona pertambangan. Pemetaan itu dilakukan tahun 1980-an. Tetapi kawasan tambang itu ternyata berada di kawasan konservasi dan hutan lindung di sekitar Kecamatan Silo, Tempurejo dan Mumbulsari. “Kalau luasan sekitar 400 hektare. Tetapi itu kawasan konservasi yang menjadi daerah resapan air dan tadah air.  Kalau itu mau ditambang, petani di kawasan itu mau mendapat air dari mana,” tegasnya.

Apalagi, sumbangan terbesar di Kabupaten Jember masih dari sektor pertanian. Ia juga menegaskan kalau pertambangan tidak memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat.

“Hanya pemerintah dengan pemerintah, atau pemerintah dengan pemodal. Rakyat tidak mendapatkan manfaat kesejahteraan langsung, karena perjanjiannya berada di ruang atau kantor bupati. Kalau pertanian, petani kan bisa merasakan dampak langsung dari hasil pertaniannya,” imbuhnya.

Dalam rapat Pansus kali ini, tim Pansus DPRD Jember mendengarkan paparan dari tim ahli DPRD, Pemkab Jember dan independen dari Unej.  Paparan itu sebagai masukan bagi tim untuk mendapatkan Perda terbaik.
“Apalagi yang dibicarakan ini Perda yang berlaku jangka panjang, 25 tahun,” ujar Wakil Ketua DPRD Jember Miftahul Ulum.

Ulum sendiri secara tegas menolak kawasan pertambangan di Jember. Apalagi zonasi pertambangan ternyata berada di areal konservasi dan hutan lindung.  Apalagi, lanjut Ulum, dalam Perda RTRW Propinsi Jawa Timur, Jember tidak disebut sebagai kawasan pengembangan pertambangan, tetapi sebagai kawasan agro industri dan pariwisata.

Sementara anggota Pansus lainnya, Bukri juga secara tegas menolak pertambangan di Jember. “Karena 60 persen penopang Jember ini pertanian. Kenapa tidak kita jadikan pertanian sebagai agro industri,
bukan pertambangan,” tegasnya.

Mulai hari ini hingga Kamis (21/3/2013) mendatang, Pansus DPRD Jember membahas dua Raperda yang saling berkaitan yakni raperda RTRW dan Raperda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jember.
Pembahasan Raperda ini terbilang terlambat. Raperda RTRW, misalnya, seharusnya dibahas maksimal tiga tahun setelah UU RTRW tahun 2007 disahkan. Bahkan Pemkab Jember sampai mendapat
surat teguran dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo karena belum mempunyai Perda RTRW itu. (sumber : surya.co.id)