Perilaku Pecandu Narkoba Suntik Di Surabaya Bergeser

Pecandu narkoba suntik di Surabaya ini dari estimasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Timur sebanyak 4.359 jiwa, dengan pertumbuhan pada tahun 2012 sebanyak lima  persen.

Artinya ada sekitar 200 jiwa yang merupakan penasun baru yang ada di Surabaya. Angka ini semakin meningkat dibanding tahun sebelumnya, dimana tahun 2011 pertumbuhan penasun hanya mencapai dua persen atau sekitar 81 jiwa.

Meski demikian, menurut survey cepat perilaku (SCP) yang dilakukan KPA Jawa Timur Tahun 2012 pola pemakaian Napza pada tahun 2012 mulai menurun.

Rudhy Wedhasmara, Direktur Program Yayasan Orbit (yayasan yang menangani pecandu napza suntik) mengatakan bahwa saat ini pola penggunakan alat suntik steril dalam sebulan terakhir berdasarkan SCP sebesar 24 persen menyuntik setiap hari dan menyuntik tidak setiap hari sebesar 39 persen dari jumlah responden 240 penasun. Sementara yang tidak menyuntik dalam sebulan terakhir mencapai 37 persen.

“Faktor penyebabnya adalah ketersediaan NAPZA ilegal saat ini minim dan tidak terjangkau. Sementara napza legal yang menjadi bagian terapi
substitusi dalam hal ini Buprenorphine yang disuntik juga terbatas. Karena penyedia layanannya saat ini sangat minim,” katanya.

Karena akses semuanya sangat terbatas, maka untuk menutup kecanduannya, alternatif yang terjadi mereka adalah minum metadon. Namun demikian belakangan terjadi perubahan perilaku lagi, karena faktor kenaikan tarif retribusi metadon dari Rp 5000 menjadi Rp 10.000. Perubahan perilaku ini diantaranya pindah-pindah layanan metadon, minum tidak rutin atau patuh dan drop out.

“Selain itu keterbatasan napza suntik memicu perubahan perilaku dalam hal ini penggunaan Napza jenis lain. Hasil SCP 2012 menunjukkan 62 persen menggunakan sabu dan 27 persen menggunakan ekstacy. Sementara penggunaan heroin (napza yang disuntikkan) menurun menjadi 15 persen. Sehingga pola ini berdampak pada perilaku seksual. Karena jenis Napza yang tidak disuntikkan ini (ekstacy, sabu) berpotensi meningkatkan seks,” kata Rudhy seperi dikutip media Jurnal Nasional.

Dalam hasil SCP tahun sebelumnya tidak ditemukan angka yang signifikan penasun melakukan seks dengan pasangan beresiko (WPS dan Gigolo). Pada tahun 2012 ini muncul dengan sebanyak 19 persen. “Inilah rantai penularan HIV baru akan terjadi di kalangan penasun,” katanya.

Dan lebih tragis lagi, lanjut Sinyo, panggilan akrabynya, dalam melakukan hubungan seks baik dengan pasangan tetap (pacar dan istri) maupun pasangan beresiko, mereka tidak menggunakan kondom. “Hasil SCP sekitar 59 persen tidak menggunakan kondom kepada pasangan beresikonya. Penasun yang melakukan hubungan seks dengan pasangan yang tidak beresiko pun juga jarang menggunakan kondom,” katanya.

Disamping itu, kata Rudhy, penasun juga melakukan turbo (tukar body). Turbo ini adalah penasun melakukan hubungan seks demi mendapatkan Napza. “Dalam scp tahun 2012 kemarin ditemukan sebanyak 4 persen. Angka ini cukup tinggi karena dibanding sebelumnya turbo ini selalu tidak ada,” katanya.

Tingginya beaya yang dikeluarkan penasun dalam mengakses layanan kesehatan juga tidak hanya terjadi di layanan umum, tetapi juga terjadi di tahanan, yakni pada saat penasun tertangkap polisi. Bahkan keberlangsungan layanan kesehatan terutama penasun yang positif HIV di tahanan kepolisian ini sangat rendah.

“Hal ini karena polisi belum mengetahui bagaimana caranya menangani penasun yang memiliki status ODHA. Disamping itu polisi juga belum
mengetahui obat-obat tentang ketergantungan Napza dan HIV,” katanya.

Oleh karenanya, lanjut Sinyo, diharapkan ke depan kepolisian perlu mensinergikan penanganan kesehatan bagi tahanan yang mempunyai latar
belakang penasun dan ODHA dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini LSM yang konsen dengan HIV/AIDS. “Saat ini orbit telah bekerjasama dengan Polrestabes besera jajarannya sebanyak 15 Polsek. Tahun ini kita melakukan penjajakan terhadap Kepolisian di KP3 dan jajarannya,” kata Rudhy.

Penanganan terhadap ketergantungan Napza di penasun ini memang cukuplah sulit. Karenanya pemerintah daerah sendiri dalam hal menangani kecanduannya juga belum berpihak.

Hal ini karena masih terjadi stigma dan diskriminasi bahwa penasun itu bukanlah korban melainkan perilaku kriminal. Stigma dan diskriminasi pada penanganan ketergantungan Napza ini terjadi sampai saat ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk terapi dan rehablitasi secara layak.

“Selama ini penasun apabila mau rehab harus membayar sendiri. Tidak ada Jamkesda yang khusus diperuntukkan bagi penasun yang akan melakukan rehab. Rehab gratis memang ada, tapi ketika ada program saja. Ketika tidak ada program, ya rehabnya harus bayar,” katanya. witanto
(sumber:  http://www.jurnas.com/halaman/11/2013-01-23)