Scot Marciel, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia menilai peran KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam mendorong Indonesia untuk menjadi lebih baik, sama seperti yang dilakukan tokoh HAM dunia Martin Luther King Jr yang juga berhasil mendorong Amerika menjadi lebih baik. Begitu yang diberitakan suarasurabaya.net
“Perbedaan mereka, kalau Gus Dur di Indonesia, dan Martin Luther King di Amerika, tapi keduanya adalah tokoh agama dan pejuang HAM di negaranya,” kata Scot Marciel ketika menjadi pembicara dalam acara mengenang kedua tokoh itu, yang digelar Konsulat Jenderal AS untuk Surabaya, di Sheraton hotel Surabaya, Selasa (22/1/2013) , seperti diberitakan suarasurabaya.net .
Dalam acara bertajuk a tribute to : Martin Luther King Jr. and KH Abdurrahman Wahid itu, juga hadir Alissa Wahid, Putri Gus Dur; Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun); juga Lily Wahid, adik kandung Gus Dur; serta beragam tokoh lintas agama dan para teman dekat Gus Dur.
Scot Marciel menambahkan, perjuangan Martin Luther King Jr dilakukan saat warga keturuan Afrika itu tidak bisa menikmati hak yang sama dengan warga AS lainya. “Martin Luther King Jr memperjuangankan kesetaraan dengan cara damai, sama dengan yang dilakukan Gus Dur dalam memperjuangkan kesetaraan di Indonesia,” kata dia.
Keduanya, kata Scot Marciel, sama-sama muncul sebagai pemimpin spiritual dan moral yang berjuang melawan intoleransi dan perpecahan diantara etnis dan ras. “Presiden Obama saat pidato pelantikan menyebut setiap dari kita memiliki sisi malaikat yang selalu ingin menjadi lebih baik, dan Martin Luther King hadir memainkan peran pentingnya,” kata Scot Marciel mengutip pidato Obama.
Alissa Wahid, mengisahkan, Gus Dur adalah seorang spiritualis muslim yang berusaha mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, Islam untuk alam semesta. “Martin Luther King Jr juga sama, beliau berangkat sebagai anak tuhan yang cinta akan sesama,” kata Alissa.
Menurut Alissa, setiap perjuangan memang harus ada pengorbanan, namun pengorbanan yang dilakukan keduanya sebenarnya tergolong murah jika dibandingkan dengan apa yang meraka hasilkan untuk dunia ini.
Alissa juga mengatakan, melihat ketokohan keduanya, bukan berarti kita harus meniru, melainkan harus mengambil semangat dan bisa menyesuaikan perjuangan di era kekinian. “Misalkan, sekarang di AS bukan lagi perbedaan warna kulit yang jadi tantangan. Di Indonesia juga bukan lagi masalah hak, tapi kemiskinan dan bagaimana tetap bisa menciptakan hidup bersama itu tantangan kedepan,” kata dia.
Apalagi, kata Alissa, masyarakat yang ada, saat ini bukan lagi dikotak oleh suku yang terbentuk karena kesamaan tempat tinggal, atau warna kulit. “Tapi suku saat ini terbentuk karena kesamaan idiologi. Ahmadiyah misalkan mereka terikat karena idiologinya yang sama dan ini tantangan baru,” imbuhnya.
Sementara budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) minta masyarakat bisa merumuskan ulang siapa sebernarnya Gus Dur. “Jangan sampai terjebak pada klenik, Gus Dur juga manusia biasa,” kata dia. Karenanya,
Cak Nun minta ada pihak yang bisa meluruhkan pemikiran Gus Dur dengan cara menyajikan keseharian tokoh tersebut. Apalagi, Gus Dur selama ini dikenal dengan guyonanya. “Kalau ingin mengenal Gus Dur dan anda tidak suka guyonan berarti anda tidak akan bisa mengenal Gus Dur. (sumber:suarasurabaya.net)