JAKARTA – Tahun 2012 adalah tahun penuh kekerasan pada profesi jurnalis. Berdasarkan pengalaman selama meliput darurat militer di Aceh atau menangani beberapa kasus di dalam dan di luar redaksi, Dhandy Dwi Laksono, pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, memberikan langkah praktis menghadapi kasus-kasus keselamatan jurnalis yang bisa dilakukan oleh redaksi media masing-masing:
1. P3K & SAFETY. Setelah semua aspek P3K (pertolongan pertama) dilakukan, bila masih bisa menjalin kontak dengan korban, segera anjurkan untuk mencari tempat di mana dia mendapat proteksi sosial (kerabat, komunitas adat, komunitas jurnalis, koneksi dengan elemen-elemen keamanan, dll).
2. VISUM. Jangan lupa, segera mengarahkan yang bersangkutan untuk meminta visum ke rumah sakit pemerintah yang berwenang (ditemani pendamping/PIC)
3. PIC & LOGISTIK. Bila putus kontak, gunakan PIC (person in charge). Sistem PIC harus dibangun sebagai standar operasional prosedur (SOP) jauh-jauh hari sebelum ada peristiwa. Ini adalah kesepakatan di mana seorang kontributor/jurnalis akan bekerja berpasangan dengan jurnalis lain yang secara geografis berdekatan, dan bila ada sesuatu hal, mereka akan saling menjaga dan menjadi jembatan informasi ke kantor pusat atau ke pihak lain. Bila belum punya pasangan PIC, tunjuk satu atau beberapa orang jurnalis dari wilayah terdekat sebagai PIC, sembari diputuskan apakah akan mengirim tim khusus dari kantor pusat atau tidak. Tugas PIC mendampingi korban selama 24 jam dan memastikan semua keperluan logistik terpenuhi dan dipenuhi oleh kantor pusat.
4. EVAKUASI. Bersama korban, PIC akan memutuskan apakah memerlukan evakuasi secepatnya atau cukup mengamankan diri di tempat tertentu. Keputusan evakuasi harus melibatkan penilaian subyektif korban dan intersubyektif dari PIC.
5. BANTUAN POLISI/TNI. Bila polisi/TNI bukan bagian dari masalah, gunakan jaringan yang ada untuk meminta perlindungan keamanan dan perlindungan hukum. (prioritas naik menjadi POIN 1). Bila polisi/TNI bagian dari masalah, selain menggunakan Propam/PM, tekanan personal dari berbagai penjuru bisa dilakukan pada pejabat-pejabat di tingkat yang lebih tinggi. Dalam kasus tertentu, bila dipandang tidak kontraproduktif, sebarkan nomor kontak Kapolsek, Kapolres, Kapolwil, Kapolda hingga Mabes Polri. (struktur yang sama untuk TNI).
6. KRONOLOGI. Untuk itu, susunlah kronologi kasus secepatnya agar segera diberitakan oleh media lain. Pemberitaan yang luas KADANG efektif mencegah ancaman lebih jauh dan meningkatkan kewaspadaan aparat hukum. Termasuk pemberitaan di media sendiri (bila tidak memperburuk situasi).
7. JEJARING. Kirim juga kronologi ke berbagai pihak yang berkepentingan (organisasi jurnalis, Dewan Pers, jaringan LBH, lembaga HAM, milis jurnalis, SOCIAL MEDIA, dll) sebagai ALERT. Tujuannya adalah mendapatkan proteksi dan dukungan sosial. Semakin besar proteksi sosial terhadap seseorang, semakin kecil risiko menjadi korban kekerasan susulan.
8. ORGANISASI PROFESI. Hubungi organisasi jurnalis terdekat.
9. LEMBAGA BANTUAN HUKUM. Hubungi lembaga bantuan hukum terdekat dan konsultasikan langkah-langkah selanjutnya. Media besar yang memiliki corporate lawyer sekalipun, perlu menjalin kontak dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang lebih berpengalaman mengatasi kasus-kasus kekerasan di lapangan.
Semua langkah-langkah ini harus dilakukan selambat-lambatnya 6 JAM sejak kejadian. Karena itu setiap organisasi media (terutama di lini Desk Peliputan/News Gathering) dianjurkan memiliki Task Force yang telah dibekali SOP, logistik, jejaring yang memadai untuk melakukan tugas-tugas ini. Bukan hanya diserahkan secara ad hoc kepada siapa pun yang kebetulan sedang on duty (piket di redaksi) saat peristiwa terjadi.
Setelahnya, barulah lakukan pemantauan berkala setelah kasus mereda (mekanisme check in). Setiap jam tertentu, secara reguler sampai pada periode tertentu, PIC mengontak yang bersangkutan dan alat komunikasi harus selalu aktif dan memiliki nomor-nomor cadangan.
Lalu dilakukan pemantauan dan pengawalan baik dari sisi hukum dan pemberitaan, terkait kasus tersebut.
Garda terdepan advokasi adalah media tempat bekerja masing-masing. Keseriusan media memperhatikan jurnalisnya di lapangan, diukur dari apakah beberapa langkah ini sudah, belum, atau tidak dilakukan sama sekali di 6 jam pertama setelah peristiwa.
sumber: AJI Indonesia