AJI Tuntut Honor Basis bagi Koresponden

JAKARTA – Sepanjang 2012 Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia mencatat persoalan kesejahteraan pekerja pers belum mendapat perhatian serius. Di berbagai tempat kerja, AJI menemukan jurnalis belum mendapatkan upah dan perlindungan yang memadai atas pekerjaannya.

Hak atas upah layak dan perlindungan bagi profesi jurnalis seharusnya berlaku sama, apakah ia karyawan tetap, pekerja kontrak, ataupun kontributor atau koresponden.

“Persoalan diskriminasi atau pembedaan perlakuan ini mengemuka yang dialami pekerja pers. Salah satunya, kebijakan perusahaan pers terhadap kontributor dan koreponden telah menimbulkan ketidakpastian pendapatan,” ungkap Eko Maryadi, Ketua Umum AJI dalam rilis yang diterima ajisurabaya.org, Jumat  (28/12/2012).

Sebagian besar perusahaan pers memberikan upah kepada koresponden/kontributor berdasar jumlah berita yang dimuat/ditayangkan. Untuk daerah yang “basah” dan punya trend nilai berita tinggi, penghasilan jurnalis bisa berkali lipat. Tapi ketidakpastian masa pembayaran honor menimbulkan problem lain terkait kualitas karya maupun etika sang jurnalis.

“AJI mendesak perusahaan media agar memberikan honor basis standar, yakni upah dalam jumlah tertentu yang diberikan secara tetap setiap bulan,” tegas Eko Maryadi.

Adanya honor tetap diyakini akan meningkatkan semangat kerja, kualitas karya, dan menjaga jurnalis dari perilaku melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Lebih jauh soal kesejahteraan jurnalis, Eko mengatakan setiap jurnalis membutuhkan perlindungan keamanan, Tunjangan Operasional dan Kesehatan, dalam melaksanakan tugas liputan di wilayah normal, apalagi wilayah konflik.

Selain itu,  bagian dari upaya memperjuangkan kesejahteraan bagi karyawan tetap/kontrak pada perusahaan pers, perlu ditumbuhkan kesadaran untuk berserikat.

AJI mencatat, pada 2012 tidak banyak serikat pekerja media baru berdiri. Di antara sedikit serikat pekerja media itu, di antaranya Serikat Pekerja Tabloid Prioritas pada Mei 2012 dan Serikat Pekerja Jurnal Nasional pada Juli 2012.

Terkait serikat pekerja,  kasus pembebastugasan Luviana (jurnalis Metro TV) yang berujung PHK sepihak, menjadi perhatian serius AJI Indonesia. AJI berpendapat, kebijakan PHK terhadap Luviana oleh manajemen Metro TV tidak tepat. Apalagi keputusan PHK itu ditengarai untuk membungkam hak berpendapat dan memperjuangkan kesejahteraan pekerja pers. Kasus PHK sepihak juga terjadi pada media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT), pada April 2012 terhadap 13 karyawannya. Pemecatan sepihak itu terkait dengan sikap kritis Serikat Karyawan IFT terhadap manajemen. Di Semarang, 13 wartawan Harian Semarang (Harsem) juga dipecat sepihak pemiliknya, tanpa ada hak membela diri ataupun diberikan pesangon sesuai aturan ketenagakerjaan.

Data AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menunjukkan sejak 2009 hanya ada 20-an serikat kerja media di Indonesia. Sepuluh diantaranya bergabung dalam FSPMI : Dewan Karyawan Koran Tempo (Dekat), Forum Karyawan SWA, Serikat Pekerja Smart FM, Serikat Pekerja KBR68H, Ikatan Karyawan RCTI, Serikat Pekerja Suara Pembaruan, Ikatan Karyawan Solo Pos, Serikat Karyawan Indosiar, Serikat Pekerja Pontianak Post, dan Serikat Pekerja Koresponden Tempo. SP Jurnal Nasional dan SP Tabloid Prioritas.